![]() |
Tersangka korupsi Kades Cikujang Heni Mulyani (53) saat di Kejaksaan Negeri Kabupaten Sukabumi. |
SeputarDesa.com, Sukabumi – Kepercayaan publik terhadap pemimpin desa kembali tercoreng. Heni Mulyani (53), Kepala Desa Cikujang aktif periode 2019–2027, resmi ditahan dalam kasus dugaan korupsi anggaran Dana Desa setelah pelimpahan tahap dua dilakukan di Kejaksaan Negeri Kabupaten Sukabumi, Senin, 28 Juli 2025.
Dengan rompi oranye bertuliskan "Tahanan Tindak Pidana Korupsi", Heni digiring petugas menuju Lembaga Pemasyarakatan Perempuan di Bandung, tempat ia akan menjalani penahanan selama 20 hari ke depan. Ia akan menghadapi persidangan di Pengadilan Tipikor Bandung.
“Kami menerima tahap dua dari Polres Kota Sukabumi dengan dugaan tindak pidana korupsi atas penggunaan dana desa di Desa Cikujang,” ungkap Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Kabupaten Sukabumi, Agus Yuliana Indra Santoso.
Heni diduga menyelewengkan Dana Desa, Alokasi Dana Desa, dan Pendapatan Asli Desa selama lima tahun terakhir, dengan total kerugian negara mencapai Rp 500.556.675. Selain itu, ia juga menjual aset desa berupa bangunan Posyandu Anggrek 09 senilai Rp 48 juta pada tahun 2022, sebuah tindakan yang melampaui batas kewenangan kepala desa.
“Itu juga betul. Posyandu termasuk satu dari item yang dijual,” kata Agus.
Penyidik menyatakan bahwa hasil korupsi sepenuhnya dinikmati oleh tersangka, dan belum ada pihak lain yang ditetapkan sebagai tersangka. Namun, lebih dari 20 saksi telah diperiksa, termasuk perangkat desa dan warga.
Pada Agustus 2024 lalu, Heni sempat mengakui adanya penyimpangan, termasuk pembangunan tanpa berita acara dan persetujuan BPD. Ia membantah menikmati dana yang menjadi temuan, dan mengklaim sebagian dana telah dikembalikan. Namun, hingga tenggat waktu pada Mei 2025, tak ada pengembalian dana yang cukup signifikan, sehingga status tersangka pun ditetapkan.
Heni dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman hukuman minimal empat tahun penjara.
Kasus ini bukan hanya soal pelanggaran hukum. Ini adalah soal pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Ketika seorang kepala desa, yang seharusnya menjadi pelayan publik paling dekat dengan warga, justru tega menggerogoti anggaran pembangunan, maka rusaklah sendi kepercayaan demokrasi dari akar rumput.
Rp 500 juta bukan angka kecil. Itu bisa membangun jalan, posyandu, irigasi, hingga menyediakan layanan sosial bagi warga miskin. Ketika dana itu digelapkan dan bahkan aset desa dijual seperti milik pribadi, yang rusak bukan hanya fisik desa melainkan harga diri rakyatnya.
Formalisme hukum semata tidak cukup. Proses ini harus menjadi pintu masuk untuk pembersihan menyeluruh praktik busuk dalam tata kelola desa. Pemerintah daerah dan inspektorat harus berani audit menyeluruh dan terbuka, bukan hanya menunggu 'tertangkap tangan'.
Kasus ini harus menjadi preseden. Bahwa siapa pun yang mengkhianati rakyat tak peduli di kantor megah atau di balai des akan dihukum keras dan disorot terang.(**)