![]() |
Foto Ilustrasi |
SeputarDesa.com, Lampung Utara, Program pemerintah pusat berupa pembagian bantuan sosial (bansos) beras 10 kilogram kembali menuai sorotan tajam. Di lapangan, ditemukan ketimpangan serius dalam pendistribusian bantuan, mereka yang seharusnya berhak justru tak kebagian, sementara yang secara ekonomi berkecukupan justru menerima jatah.
Berbagai keluhan masyarakat muncul dari sejumlah desa di Kabupaten Lampung Utara. Warga yang benar-benar membutuhkan yang hidup di bawah garis kemiskinan, tidak memiliki penghasilan tetap, dan kesulitan memenuhi kebutuhan pokok mengaku kecewa karena tidak masuk dalam daftar penerima bansos beras tersebut.
Ironisnya, di sisi lain, warga yang tergolong mampu bahkan sangat mampu diketahui justru menerima bantuan. “Ada yang rumahnya sudah keramik, punya dua motor, mobil, dan lahan pertanian luas, tapi masih menerima bantuan. Sementara kami yang benar-benar butuh justru tak mendapat apa-apa,” ujar salah satu warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di satu atau dua desa. Berdasarkan informasi yang dihimpun, pola distribusi yang janggal tersebut terjadi di puluhan desa yang tersebar di 23 kecamatan, 232 desa, dan 15 kelurahan di Kabupaten Lampung Utara.
Masalah utama diduga berasal dari sistem pendataan yang tidak objektif dan terlalu bergantung pada rekomendasi dari tingkat RT, RW, hingga Pemerintah Desa. Bahkan, muncul dugaan kuat adanya praktik nepotisme dan politisasi bantuan. “Pendataan seringkali mengutamakan saudara, kerabat dekat, atau tim sukses kepala desa saat Pilkades. Sementara rakyat kecil yang tidak punya ‘orang dalam’ dicoret begitu saja,” ungkap seorang tokoh masyarakat.
Kondisi ini mencederai semangat keadilan sosial yang menjadi inti dari program bantuan Presiden, yang sejak awal ditujukan untuk membantu masyarakat dengan ekonomi rendah dan meringankan beban hidup mereka.
Karena itu, masyarakat mendesak dinas terkait di tingkat kabupaten maupun pusat untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme pendataan dan penyaluran bansos. Harus ada pendataan ulang secara independen, dengan melibatkan tim yang tidak berasal dari desa atau kecamatan setempat guna menghindari konflik kepentingan.
Di era teknologi saat ini, proses verifikasi bisa dilakukan dengan lebih transparan misalnya melalui dokumentasi visual kondisi rumah dan aset penerima. Pendekatan berbasis data faktual dan audit sosial terbuka bisa menjadi solusi agar bantuan benar-benar tepat sasaran.
Masyarakat berharap pemerintah tidak menutup mata terhadap persoalan ini. Karena jika dibiarkan, ketimpangan distribusi bantuan ini bukan hanya akan menambah penderitaan rakyat kecil, tetapi juga memperkuat budaya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang justru ingin diberantas oleh Presiden.
Pewarta : Heri Parizal