Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

'>

Iklan

Indeks Berita

Ketika Sound Horeg Bersuara Lebih Nyaring dari Akal Sehat

Sabtu, 26 Juli 2025 | 11:29 WIB | 017 Views Last Updated 2025-07-26T04:45:14Z

 

Surat Edaran yang dibuat Pemdes Donowarih viral di medsos.


SeputarDesa.com, Langkah Pemerintah Desa Donowarih, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang, yang menerbitkan surat edaran agar warga “mengungsi” saat Karnaval Karangjuwet Vol. 5 digelar, patut diapresiasi sekaligus dikritisi secara jernih. Surat dengan nomor resmi dan tanda tangan Kepala Desa Sujoko ini menjadi viral bukan tanpa alasan karena ia membuka fakta yang selama ini hanya dibisikkan, bahwa pesta rakyat kita kadang tak lagi berpihak pada rakyat, apalagi yang rentan.


Alih-alih menjadi ajang kebersamaan yang menyejukkan, pesta tradisional justru bisa berubah menjadi ancaman kesehatan jika tidak dikelola dengan bijak. Fenomena sound horeg, sistem suara bertenaga super tinggi yang gemar dipakai dalam hajatan hingga karnaval, kini menjadi “tradisi baru” yang memekakkan dan menyingkirkan kelompok rentan ke pinggir kenyamanan.


Sujoko, Kepala Desa Donowarih, dalam kapasitasnya sebagai pemimpin lokal, memilih jalur antisipatif. Ia tak melarang, tetapi mengimbau warga untuk "menghindar." Sebuah langkah yang secara administratif sah, tetapi menyisakan ironi: mengapa warga sendiri yang harus mundur, sementara masalah utamanya penggunaan sound horeg berlebihan justru dibiarkan melenggang?


Apakah benar tradisi harus dipertahankan dengan mengorbankan kenyamanan publik? Apakah nilai kebudayaan bisa tetap hidup bila ia berdiri di atas gangguan dan potensi bahaya kesehatan?


Surat edaran ini menunjukkan dua hal yang krusial. Pertama, bahwa Pemdes Donowarih cukup sadar dan peduli terhadap dampak sosial teknologi hiburan yang tak terkendali. Kedua, bahwa belum ada keberanian struktural untuk mengoreksi kebiasaan keliru dalam tradisi lokal, meski kebiasaan itu sudah mencederai hak istirahat warga, kesehatan balita, hingga kenyamanan lansia.


Jika pemerintah desa sudah meminta warganya mengungsi dari rumah sendiri demi memberi jalan bagi sistem suara raksasa yang mengguncang jantung desa, maka ini bukan sekadar soal toleransi budaya ini adalah soal kegagalan kita membatasi kebisingan yang membahayakan.


Kita perlu bertanya: mengapa budaya harus lebih gaduh daripada bermartabat?


Langkah Desa Donowarih membuka ruang diskusi nasional yang lebih besar, sudah saatnya pemerintah, dari pusat hingga desa, menyusun regulasi yang masuk akal tentang batas kebisingan dalam kegiatan publik. Budaya bukanlah alasan untuk merusak hak dasar masyarakat atas ketenangan.


Sujoko boleh jadi disorot karena surat edaran yang dianggap “aneh,” tetapi bisa jadi ia satu dari sedikit pemimpin lokal yang berani menyinggung realitas: bahwa tak semua suara dari pesta rakyat adalah suara yang membahagiakan.


Dan suara sound horeg itu, barangkali adalah suara yang sudah waktunya kita dengar dengan nalar bukan dengan kuping yang dipaksa kebal.


---------------------------------------

Redaksi SeputarDesa.com

---------------------------------------

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN