Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

'>

Iklan

Indeks Berita

Di Balik Manis Gula, Air Mata Rakyat Mengalir: Jejak Luka dan Oligarki di Lahan Tebu Lampung

Rabu, 16 Juli 2025 | 16:04 WIB | 017 Views Last Updated 2025-07-16T09:14:59Z


Gambar Ilustrasi


SeputarDesa.com - Bandar Lampung, Di hamparan luas perkebunan tebu yang membentang dari Tulang Bawang hingga Lampung Tengah, berdirilah raksasa industri gula bernama PT Sugar Group Companies (SGC). Namun, di bawah kejayaan dan kilau profit yang dipamerkan perusahaan ini, ada narasi gelap yang jarang diungkap: penguasaan tanah bermasalah, dugaan pengingkaran hak ulayat, pembungkaman suara rakyat, hingga kekerasan berdarah.


Kini, setelah bertahun-tahun suara masyarakat terkubur oleh dominasi modal dan kekuasaan, Komisi II DPR RI mulai bertindak. Dalam RDP dan RDPU bersama Kementerian ATR/BPN dan organisasi sipil pada 14 Juli 2025, Komisi II mendesak agar dilakukan inventarisasi ulang seluruh lahan HGU milik PT SGC, menyusul ketidaksinkronan data dan potensi pelanggaran struktural.


Cerita bermula awal 1980-an, ketika Salim Group lewat anak usahanya GPM (Guna Palma Mandiri) melakukan survei ke wilayah Bakung kawasan terasing di Tulang Bawang yang kala itu belum tersentuh pembangunan. Wilayah ini terdiri dari tiga kampung tua: Bakung Udik, Bakung Ilir, dan Bakung Rahayu, daerah yang sarat sejarah dan kearifan lokal.


Tahun 1989, Fauzi Toha ayah mantan Gubernur Lampung Ridho Ficardo muncul sebagai perwakilan perusahaan yang melakukan pendekatan ke tokoh masyarakat dan perangkat kampung. Prosesi pemotongan kerbau dilakukan sebagai simbol ‘musyawarah besar’, tapi realitasnya, pengukuran lahan dimulai tanpa transparansi, diiringi dengan keluarnya Surat Edaran Gubernur yang menyebut wilayah Bakung sebagai daerah latihan militer TNI-AU, membuat warga kehilangan ruang menolak.


Seiring waktu, perusahaan mulai membangun pos pemeriksaan, menggusur lahan, dan menempatkan alat berat, sementara proses ganti rugi masih gelap. Ironisnya, HGU perusahaan baru keluar tahun 1996, sementara kegiatan okupasi lahan dimulai sejak awal 1990-an.


Empat perusahaan utama yang membentuk SGC PT SIL, PT Indo Lampung Cahaya Makmur, Indo Lampung Prakasa, dan Garuda Panca Arthadi berikan HGU seluas 86.956 hektar, namun berdasarkan temuan Komisi II DPR, SGC mengelola hingga 138.904 hektar. Ada selisih hampir 52 ribu hektar lahan yang statusnya tak jelas—membuka dugaan adanya penguasaan ilegal dan manipulasi data.


Salah satu konflik paling tragis terjadi di Gecou Isem Payou Bonoh, rawa yang sejak 1913 menjadi sumber penghidupan masyarakat adat Bakung. Rawa ini dirampas, ditimbun, dan dijadikan bagian dari perluasan areal tebu. Perusahaan mengganti namanya menjadi Rawa Sadeng, memutus ikatan sejarah dan spiritual masyarakat terhadap tanah leluhur mereka.


Mereka tak pernah menjual tanah itu. Tak pernah memberi izin. Tapi ketika mereka menolak, aparat keamanan swasta dan PAM swakarsa didatangkan, bahkan oknum TNI ikut mengawal operasional perusahaan. Dua warga tewas ditembak, insiden tahun 2002 dan 2005 yang hingga kini tidak pernah diusut.



Satu nama muncul dalam lorong perlawanan panjang ini Junaidi Farhan, aktivis rakyat yang memimpin gerakan “Laskar Gula Manis” sejak 2013. Ia bukan hanya menjadi pengingat akan sejarah kelam perusahaan ini, tapi juga simbol keberanian menolak tunduk pada dominasi oligarki.


Melalui catatan sejarah yang ia arsipkan dan izinkan untuk dipublikasikan, Junaidi mengingatkan:

Kalau sedang memperjuangkan hak rakyat, jangan sekali-kali meninggalkan rakyatnya. Jangan jadikan penderitaan ini alat untuk tawar-menawar politik.”

 

Hari ini, masyarakat Bakung menuntut hal-hal yang sangat mendasar:

  1. Pengembalian Gecou Isem Payou Bonoh sebagai tanah ulayat warga Bakung.

  2. Penghentian pembakaran tebu yang menyebabkan polusi dan penyakit saluran pernapasan akut.

  3. Pembangunan infrastruktur dasar: penerangan dari PLN, jalan layak, dan fasilitas kesehatan.

  4. Investigasi ulang atas kekerasan dan pelanggaran HAM, termasuk penembakan warga oleh oknum aparat.


Mereka juga menuntut agar seluruh proses HGU PT SGC diaudit ulang, dan luasan real lahan yang dikelola harus diumumkan secara transparan kepada publik.


Konflik ini bukan semata tentang satu perusahaan. Ini adalah cermin retak kegagalan negara saat warga miskin berhadapan dengan kongsi modal dan kekuasaan, mereka ditinggalkan. Tidak ada sinergi antara pemerintah, perusahaan, dan rakyat. Ganti rugi hanya menjadi formalitas. Warga kampung dipaksa lewat pos pemeriksaan saat membawa hasil tani mereka sendiri.


Sementara perusahaan panen miliaran rupiah dari hasil tebu, warga asli Bakung tetap hidup dalam gelap. Hingga 2012, mereka masih menggunakan petromak sebagai sumber cahaya. Sebuah ironi menyakitkan: terang untuk korporasi, gelap untuk tuan rumah sejati.


Di antara deru mesin pabrik dan padatnya ladang tebu, ada pekik sunyi yang nyaris tak terdengar: jeritan rakyat yang dirampas tanah, identitas, dan martabatnya. Di balik setiap butir gula, tersimpan jejak tanah adat yang dihapus, sejarah yang dikhianati, dan penguasa yang diam.


Kini, saat DPR mulai bicara, masyarakat menuntut lebih dari itu. Mereka tidak butuh belas kasihan, tapi hak yang semestinya dipulihkan.(**)

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN