Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

'>

Iklan

Indeks Berita

Apih Apung: Wilayah Selatan Terlalu Lama Ditinggalkan, Safari Kerja Jangan Jadi Panggung Pencitraan Murahan

Minggu, 13 Juli 2025 | 11:33 WIB | 017 Views Last Updated 2025-07-13T04:33:02Z

 

Foto Ir. Apung Hadiat Purwoko, M.Si - Pembina Formades

SeputarDesa.com, Bandung Barat – Program “Bupati Jang Ka Lembur” yang digelar oleh Bupati Bandung Barat Jeje Richi Ismail di Kecamatan Saguling mendapat sorotan tajam dari Pembina Forum Masyarakat Desa (FORMADES), Ir. Apung Hadiat Purwoko, M.Si atau yang akrab disapa Apih Apung.


Meski memberikan apresiasi, Apih menyebut bahwa safari kerja ini jangan sampai berubah menjadi panggung pencitraan murahan, apalagi bila hanya menjadi ajang formalitas yang ujung-ujungnya tidak melahirkan perubahan konkret di lapangan.


“Jangan hanya datang, lempar senyum, lalu pulang tanpa solusi. Masyarakat sudah bosan dengan pola pendekatan kosong seperti itu. Wilayah selatan terlalu lama ditinggalkan, cukup sudah rakyat dijadikan latar belakang selfie pejabat,” tegas Apih.

 

Menurutnya, kesenjangan antara wilayah utara dan selatan Bandung Barat sudah seperti langit dan bumi. Selama bertahun-tahun, janji-janji politik datang silih berganti, tapi realisasi nyaris nihil. Saguling, Gununghalu, Rongga, hingga Cipongkor—semua punya cerita yang sama: dilupakan, dikorbankan, dan dicueki.


“Kalau safari kerja ini tidak dilanjutkan dengan kebijakan nyata dan anggaran yang berpihak, maka ini hanya kosmetik politik. Rakyat bukan butuh pertunjukan, rakyat butuh keadilan pembangunan,” lanjutnya.


Apih juga menyinggung tajam soal potensi daerah yang dibiarkan mangkrak. Curug Malela, kawasan hutan dan perkebunan, hingga pesantren-pesantren di dapil empat dan lima yang dikenal sebagai "Dapil Religi" hanya disebut saat kampanye, tapi dilupakan setelahnya.


“Jangan hanya ingat potensi kami saat musim pemilu. Kalau daerah lain bisa dapat sentuhan investor, kenapa selatan selalu jadi anak tiri? Karena pemerintah sendiri tidak pernah serius membuka jalan,” kritiknya.

 

Tak hanya bicara potensi, Apih membongkar kegagalan struktural pemerintah daerah dalam menangani bencana. Ia menyebut kasus pergeseran tanah di Rongga sebagai bukti nyata kegagalan kemanusiaan.


“Sudah bertahun-tahun korban menunggu relokasi, tapi tak ada tindak lanjut. Di mana empati pejabat hari ini? Mereka cepat datang saat kamera datang, tapi cepat pergi saat rakyat butuh solusi,” sindirnya.

 

Tak kalah keras, Apih menyoroti mandeknya janji dana CSR dari proyek strategis nasional PLTA Upper Cisokan. Dana senilai Rp60 miliar yang dijanjikan untuk warga terdampak justru menguap tanpa kejelasan.


“Ini bukan cuma soal dana, ini soal harga diri rakyat. Pemerintah daerah jangan diam. Kalau tak berani tagih ke pusat atau ke Indonesia Power, lalu untuk apa ada bupati?” katanya lantang.


Ia juga mengingatkan bahwa transparansi adalah harga mati. Pemerintah yang menutup-nutupi informasi sama saja sedang mengkhianati amanah rakyat.


“Jangan bungkam suara publik dengan pencitraan murahan. Kalau pemerintah takut transparan, berarti ada yang disembunyikan. Rakyat berhak tahu. Kami bukan objek, kami subjek pembangunan,” tegas Apih.

 

Di akhir pernyataannya, Apih menambahkan satu tuntutan krusial yang sering dilupakan: pembangunan flyover Cimareme. Menurutnya, titik kemacetan itu bukan sekadar masalah lalu lintas, tapi simbol nyata pembiaran pemerintah terhadap problem riil rakyat.


“Cimareme macet setiap hari, UMKM terganggu, distribusi hasil pertanian terhambat. Tapi entah kenapa, proyek flyover seolah tak pernah masuk prioritas. Pemerintah ini kerja pakai data atau sekadar asumsi?” tutupnya dengan nada sinis.

 

Apih Apung menegaskan bahwa dirinya tidak akan berhenti bersuara demi wilayah selatan. “Jika suara ini dianggap nyaring, biarlah. Karena sunyi hanya menguntungkan penguasa yang gemar membungkam masalah,” pungkasnya.(**)



TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN