![]() |
Gambar Ilustrasi |
SeputarDesa.com – Suatu sore di pelosok Jawa Tengah, seorang ibu bernama Marni duduk di beranda rumahnya yang mulai lapuk. Di tangannya tergenggam secarik undangan musyawarah desa yang ia temukan terselip di warung sebelah.
“Ngapain saya datang? Sudah dari dulu nggak pernah ditanya pendapat kita,” ujarnya pelan, sembari mengipasi cucunya yang tertidur di pangkuan.
Ucapan Marni bukan keluhan kosong. Itu adalah cermin dari ribuan suara rakyat desa yang selama sepuluh tahun terakhir menyaksikan betapa Dana Desa yang mengalir deras total Rp680,79 triliun hingga 2025 belum sepenuhnya membawa perubahan berarti ke halaman rumah mereka.
Dari Harapan Menjadi Kecurigaan
Program Dana Desa dilahirkan dengan niat mulia: menghapus ketimpangan, memajukan pembangunan dari pinggiran, dan memulihkan kepercayaan rakyat terhadap negara. Namun niat itu diuji keras oleh kenyataan di lapangan.
“Lihat saja jalan ke arah kebun,” ujar Sarman, tokoh tani di desanya. “Tiap tahun katanya dianggarkan, tapi tiap musim hujan ya longsor lagi. Papan proyek ada, tapi hasilnya mana?”
Di banyak tempat, warga mulai hafal pola: proyek diumumkan, papan nama dipasang, lalu hilang entah ke mana. Beberapa bulan kemudian, kepala desa tiba-tiba membeli mobil baru. Di warung kopi, warga hanya bisa saling melirik.
“Gak usah protes, nanti dikira oposisi,” bisik seseorang sambil meneguk kopi hitamnya.
Korupsi yang Disepakati Diam-diam
Data Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan ratusan kepala desa terjerat korupsi Dana Desa sejak 2015. Tapi jumlah itu diyakini hanya puncak dari gunung es. Formades mencatat peningkatan tajam jumlah kasus korupsi di desa dalam lima tahun terakhir.
Modusnya berulang: mark-up, laporan fiktif, proyek siluman, pengadaan barang dari rekanan titipan. Bahkan pemotongan langsung dana bantuan tunai.
“Bantuannya katanya Rp300 ribu,” kata Siti, seorang janda lansia. “Tapi yang saya terima cuma Rp200 ribu, katanya untuk ‘biaya administrasi’.”
Korupsi bukan lagi praktik tersembunyi. Ia menjadi rahasia umum yang diketahui semua orang tapi jarang dibicarakan secara terbuka.
Pilkades Jadi Bursa Jabatan
“Jadi kades sekarang butuh ratusan juta. Kalau nggak punya uang, jangan mimpi,” ucap Rojikin, mantan tim sukses dalam Pilkades 2022.
Politik uang merajalela di tingkat desa. Pemilihan kepala desa menjadi ajang adu modal, bukan adu gagasan. Maka jangan heran jika setelah menang, prioritas utama kepala desa bukan membangun, tapi mengembalikan modal dan mengamankan proyek untuk lingkaran dalam.
Di sinilah desa kehilangan jiwanya dari ruang pelayanan publik berubah menjadi ladang bisnis kekuasaan.
Ketika Warga Dilarang Tahu
Padahal Undang-Undang Desa menjamin hak warga untuk tahu, bertanya, bahkan mengawasi. Tapi kenyataannya?
“Waktu saya minta salinan APBDes, saya diusir,” tutur Wahyudi, pemuda desa yang aktif di karang taruna. “Katanya, bukan urusan saya.”
Warga yang kritis sering dicap pembangkang. Bahkan ada yang diintimidasi. Bentuk transparansi hanya formalitas papan pengumuman dipasang asal-asalan, laporan tahunan dibacakan dengan cepat tanpa ruang tanya jawab.
Desa yang Hilang dari Tangan Rakyat
“Dulu, kami rapat di balai desa ramai-ramai. Sekarang, sudah seperti milik pribadi. Warga hanya datang saat disuruh,” kata Pak Karim, sesepuh desa yang pernah menjabat kepala dusun di era 90-an.
Desa, yang seharusnya menjadi ruang kehidupan kolektif, kini dikendalikan oleh segelintir orang. Rakyat menjadi tamu di rumah sendiri.
Formades: Lima Seruan dari Akar Rumput
Melihat gejala ini, Forum Membangun Desa menegaskan perlunya langkah serius untuk menyelamatkan desa dari jebakan kekuasaan. Lima langkah yang disarankan:
-
BPD harus dihidupkan kembali sebagai lembaga kontrol rakyat, bukan hanya pelengkap musyawarah.
-
Anggaran wajib dibuka secara proaktif, melalui papan desa, media sosial, dan forum warga rutin.
-
Aparatur desa harus digembleng secara berkala, bukan hanya soal teknis, tapi juga etika publik.
-
Setiap desa harus punya saluran aduan publik yang aman, agar warga berani bicara tanpa takut dibungkam.
-
Pemuda desa dan masyarakat sipil harus dilibatkan aktif, agar kontrol sosial tidak mati.
Desa Adalah Rumah, Bukan Alat Dagang
Jika desa terus dikuasai oleh uang dan diamnya rakyat, maka pembangunan hanya akan memperkaya segelintir orang. Desa adalah rumah bersama. Ia tidak boleh diperdagangkan. Maka menjaga integritas desa bukan tugas elit saja—itu tanggung jawab moral setiap warga.
“Kami tak ingin banyak janji. Cukup satu saja,” kata Marni, menatap langit di ufuk sore. “Buat desa ini benar-benar jadi tempat yang adil untuk kami tinggal.”
Desa tidak butuh penguasa. Desa butuh pelayan. Dan pelayan yang baik tahu bahwa setiap rupiah dari Dana Desa bukan miliknya, tapi titipan dari rakyat yang harus dipertanggungjawabkan.