![]() |
Gambar Ilustrasi |
SeputarDesa.com, Secara hukum, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah lembaga penting. Dalam Permendagri Nomor 110 Tahun 2016, BPD memiliki kedudukan strategis sebagai mitra sejajar kepala desa dengan fungsi legislasi, pengawasan, dan penyalur aspirasi masyarakat. Di atas kertas, BPD adalah “DPR-nya desa.” Tapi di lapangan? Banyak yang justru berubah menjadi penonton bisu atau lebih parah alat stempel kekuasaan kepala desa.
Fenomena ini bukan tanpa sebab. Di banyak desa, BPD tidak hanya diabaikan, tapi sengaja dimatikan perannya. Rapat desa berjalan tanpa konsultasi, APBDes disahkan tanpa diskusi, dan aspirasi rakyat menguap karena tidak ada saluran efektif. Namun, akar masalahnya tak sepenuhnya dari luar. Kerap kali, penyebab utama justru berasal dari dalam tubuh BPD itu sendiri.
Alih-alih menjadi wakil rakyat desa, tidak sedikit anggota BPD yang justru berperilaku seperti penikmat jabatan. Mereka lebih sibuk menghitung jumlah tunjangan daripada memahami tugas dan tanggung jawabnya. Mereka datang ke musyawarah hanya untuk hadir secara fisik, tanpa kapasitas, tanpa niat memperjuangkan kepentingan rakyat. BPD yang semestinya menjadi penjaga demokrasi desa malah menjelma menjadi lembaga pasif, korup secara moral, dan kehilangan wibawa.
Akibat ulah oknum inilah, stigma buruk menempel pada lembaga BPD secara keseluruhan. Kepala desa pun merasa tak perlu melibatkan BPD, karena tahu sebagian besar anggotanya hanya menunggu amplop dan tanda tangan. Padahal, ketika fungsi BPD lumpuh, desa kehilangan pengawas. Dan ketika tak ada pengawasan, celah korupsi dana desa terbuka lebar.
Pemerintah daerah juga kerap lepas tangan. Tak ada pembinaan serius, tak ada evaluasi kinerja yang transparan. Alhasil, BPD dibiarkan hidup segan, mati tak mau. Lembaga yang seharusnya menjadi benteng terakhir demokrasi desa justru menjadi simbol kegagalan sistem pengawasan dari dalam.
Ini alarm keras. Jika BPD ingin dihormati, maka anggotanya harus bekerja. Tak bisa lagi berlindung di balik aturan tanpa menunjukkan integritas dan kapabilitas. Hak tanpa kewajiban adalah pembusukan demokrasi. Dan BPD yang menuntut tunjangan tanpa kinerja adalah pengkhianatan terhadap mandat rakyat.
Saatnya bersih-bersih di tubuh BPD. Anggota yang hanya mengejar uang, mundurlah. Karena desa tidak butuh penumpang gelap. Desa butuh pengawal aspirasi, pengawas anggaran, dan pemilik keberanian untuk bicara ketika kebenaran diinjak.
---------------------------------------
Redaksi SeputarDesa.com
---------------------------------------