Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

'>

Iklan

Ketum Formades : Standar Kemiskinan Versi BPS Tidak Manusiawi

Selasa, 24 Juni 2025 | 05:22 WIB | 017 Views Last Updated 2025-06-23T22:22:13Z

 



Seputardesa.com - Jakarta, Perdebatan seputar standar garis kemiskinan nasional di Indonesia mengemuka setelah Bank Dunia mengeluarkan laporan soal "Poverty and Inequality Platform" edisi Juni 2025.


Di situ, Bank Dunia telah mengganti acuan garis kemiskinan global dari paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) 2017 ke PPP 2021. Akibat pembaruan tersebut, ambang batas garis kemiskinan meningkat di semua kategori negara.


Garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah ke bawah (lower-middle income) berubah dari yang sebelumnya US$3,65 menjadi US$4,20 per hari.


Begitu juga dengan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah ke atas (upper-middle income) seperti Indonesia. Batasnya berubah dari US$6,85 menjadi US$8,40 per hari.


Nilai US$1 PPP setara dengan Rp5.993.


PPP adalah konsep dasar dengan membandingkan harga sekumpulan barang dan jasa yang sama di berbagai negara.


Harga ini kemudian dikonversi ke dalam mata uang yang sama, seperti dollar AS, untuk memudahkan perbandingan.


Kalau memakai standar garis kemiskinan Bank Dunia, jumlah penduduk Indonesia dengan pengeluaran di bawah Rp49.244 per hari mencapai 68,2% dari total populasi yang pada 2024 sebanyak 285,1 juta orang. Itu artinya, 194,4 juta warga Indonesia masuk dalam kategori miskin.


Standar garis kemiskinan versi Bank Dunia itu berbeda dengan data Badan Pusat Statistik (BPS).


Pada September 2024, BPS mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia sekitar 24,06 juta orang atau 8,57%.


Untuk diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mengategorikan orang miskin jika memiliki pengeluaran di bawah Rp595.242 per kapita per bulan atau sekitar Rp20.000 per hari.


Angka itu, menurut pakar, "sangat miris" sebab meskipun kelompok masyarakat itu masih bisa hidup tapi kemungkinan besar mengandalkan bantuan orang lain atau akhirnya terjerat utang


Kalau sekadar survive saja, orang Indonesia itu sangat mungkin bisa survive. Apalagi orang Indonesia tidak berekspektasi banyak terhadap negara, jadi mereka tidak akan mati meskipun dengan tingkat pengeluaran sedikit pun," ujar ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana beberapa waktu lalu.


Sementara Ketua Umum Forum Membangun Desa (Formades) Junaidi Farhan mengatakan standar garis kemiskinan versi pemerintah tidak manusiawi.


Menurut Junaidi Farhan uang dibawah Rp. 20.000 untuk memenuhi kebutuhan pokok seseorang buat makan saja tidak cukup sekalipun itu untuk gelandangan. Jelas orang tersebut tidak punya rumah yang harus bayar listrik, tidak pernah menggunakan biaya transportasi untuk bekerja atau kebutuhan lainnya.


"Jika negara menyebut, orang yang mampu memenuhi kebutuhan harian di angka Rp. 20.000 sebagai orang mampu atau tidak dikategorikan miskin itu sangat tidak realistis dan hanya alasan negara lepas tanggung jawab". ungkapnya.


Perhitungan garis kemiskinan versi Bank Dunia diprediksi meningkatkan angka kemiskinan Indonesia menjadi 194,6 juta jiwa, jauh di atas 24,06 juta jiwa merujuk data September 2024. Standar baru ini mengklasifikasikan jutaan orang ke kelompok miskin, yang tidak dikategorikan miskin jika menggunakan perhitungan pemerintah Indonesia.


"Hari gini uang kurang dari Rp. 20.000 tidak cukup untuk makan dua kali sehari, terus mau dibilang tidak masuk kategori miskin, terus yang bisa memenuhi kebutuhan pokoknya Rp. 20.000 setiap hari dibilang orang mampu? itu kan ngawur". Pungkas Junaidi Farhan

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update