SeputarDesa.com - Bandar Lampung, Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal kembali menjadi sorotan tajam publik. Kali ini, kebijakan pengangkatan delapan nama sebagai Tenaga Pendamping Percepatan Pembangunan Provinsi Lampung Tahun 2025 menuai kecaman luas. Kritik menguat setelah diketahui bahwa proses pengangkatan ini tidak diiringi transparansi publik dan bahkan diduga menyimpang dari ketentuan hukum kepegawaian yang berlaku.
Penunjukan tersebut tercantum dalam Keputusan Gubernur Lampung Nomor 102 Tahun 2025, yang merujuk pada keberadaan tenaga pendamping di bawah Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pusat Layanan Usaha Terpadu (PLUT) Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Provinsi Lampung. Namun, hingga berita ini diturunkan, masyarakat hanya dapat mengakses judul keputusan yang diunggah oleh Biro Hukum Setdaprov Lampung melalui situs resmi JDIH (https://jdih.lampungprov.go.id) pada 5 Februari 2025. Isi lengkap keputusan tersebut belum tersedia secara terbuka.
-
Prof. Dr. Ir. Wan Abas Zakaria, MS.
-
Dr. Andi Desfiandi, SE, MH.
-
Darussalam, SH, MH.
-
Ardiansyah, SH.
-
Davit Kurniawan, SKom, CCNA.
-
Robby Herdian, ST.
-
Iringi, SKom, MM.
-
Hipni, SE.
Kebijakan ini langsung mendapat kritik keras dari berbagai elemen masyarakat sipil. Ketua Umum Forum Membangun Desa (Formades), Junaidi Farhan, menyebut penunjukan tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi birokrasi dan prinsip transparansi pemerintahan. Ia bahkan menuding Gubernur sedang melakukan “bagi-bagi kekuasaan” melalui cara yang sistematis namun terselubung.
“Jangan bungkus kepentingan politik dengan istilah teknokratik seperti 'tenaga pendamping'. Ini hanya upaya memoles praktik pengangkatan yang rawan konflik kepentingan dan tidak akuntabel,” kecam Junaidi.
Ia mengingatkan bahwa Kepala BKN (Badan Kepegawaian Negara), Prof. Zudan Arif Fakrulloh, telah secara tegas menyampaikan bahwa kepala daerah tidak boleh mengangkat tenaga ahli atau staf khusus di luar mekanisme rekrutmen resmi seperti CPNS atau PPPK. Langkah Gubernur Lampung ini dinilai sebagai bentuk penyiasatan hukum dengan mengganti istilah, namun tetap melanggengkan praktik yang sama.
“Gubernur Lampung seolah mengabaikan instruksi nasional. Mengubah nama dari 'tenaga ahli' menjadi 'tenaga pendamping' tidak mengubah substansi pelanggarannya. Ini jelas upaya mengelabui hukum dan publik,” tegasnya.
Lebih lanjut, Junaidi mempertanyakan mengapa dokumen Keputusan Gubernur hanya diunggah dalam bentuk judul saja tanpa isi. Ia menilai ada upaya pembatasan informasi yang disengaja untuk menutupi proses rekrutmen yang tidak profesional dan tidak terbuka.
“Apa yang mau disembunyikan? Mengapa rakyat tidak diberi akses penuh terhadap keputusan yang menggunakan anggaran negara? Di era digital, menutup-nutupi informasi bukan hanya tidak etis, tapi juga melanggar prinsip keterbukaan informasi publik,” tandasnya.
Menurutnya, jika pengangkatan tenaga pendamping memang menjadi kebutuhan strategis daerah, maka mekanismenya harus melalui rekrutmen terbuka, dengan kriteria yang jelas, serta dilakukan oleh panitia independen. Bukan sekadar penunjukan langsung yang terkesan asal tunjuk dan berbasis kedekatan politik.
“Gubernur boleh punya visi percepatan pembangunan. Tapi jangan jadikan alasan pembangunan sebagai tameng untuk mengangkangi prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Ini justru menciptakan preseden buruk di awal masa jabatan,” katanya.
Formades bahkan mengancam akan membawa persoalan ini ke jalur hukum dan mendorong DPRD Provinsi Lampung untuk segera memanggil pihak eksekutif guna menjelaskan legalitas dan dasar pengangkatan tenaga pendamping tersebut.
“Kami akan bersurat ke Ombudsman, DPRD, hingga Kemendagri. Jangan sampai publik terus dibohongi. Jika Gubernur tidak segera memberikan klarifikasi resmi, maka dugaan praktik penyimpangan ini akan semakin kuat dan berbahaya bagi demokrasi lokal,” pungkas Junaidi Farhan.
Hingga berita ini dipublikasikan, pihak Pemerintah Provinsi Lampung belum memberikan pernyataan resmi terkait mekanisme dan dasar penunjukan tenaga pendamping serta keterlambatan publikasi dokumen hukum secara utuh di laman JDIH. Media ini terus membuka ruang klarifikasi dari pihak-pihak terkait.(**)
Editor : M Irwani N Umam