Notification

×

Iklan

 


Iklan

 


Indeks Berita

Tag Terpopuler

FORMADES dan Spirit Kurban

Jumat, 06 Juni 2025 | 18:23 WIB | 17 Views Last Updated 2025-06-06T11:27:40Z

 


Oleh : Yosep Heriyanto


Idul Adha bukan sekadar hari besar keagamaan, ia adalah momen spiritual yang kaya makna historis dan filosofis. Di balik peristiwa kurban Nabi Ibrahim terhadap putranya Ismail, terdapat pesan keteladanan yang melampaui sekat zaman, agama dan nalar manusia: tentang keikhlasan, pengorbanan, ketaatan kepada nilai kebenaran, serta perjuangan membebaskan manusia dari belenggu ego dan ketidakadilan. 


Kisah ini tidak hanya hidup dalam kitab suci, tetapi juga menemukan relevansinya dalam medan perjuangan sosial hari ini, khususnya bagi gerakan rakyat di akar rumput seperti yang dijalankan oleh Forum Membangun Desa (FORMADES).


FORMADES lahir dari keresahan yang tak lagi dapat dibungkam: desa-desa yang ditinggalkan pembangunan, petani yang kian terjepit oleh pasar dan regulasi, serta ruang hidup rakyat kecil yang terus menyempit akibat proyek-proyek strategis nasional yang tak berpihak pada mereka. Dalam konteks ini, semangat Idul Adha bukanlah sesuatu yang jauh atau 


ritual semata. Ia menjadi sumber inspirasi moral dan spiritual bagi keberanian warga desa untuk bertahan, melawan ketidakadilan, dan membangun masa depan yang lebih adil dan sejahtera.


Nabi Ibrahim menunjukkan bahwa dalam situasi paling genting sekalipun, manusia harus berpihak pada nilai yang diyakini sebagai kebenaran. Keputusan untuk mengorbankan Ismail bukan didorong oleh ketundukan buta, melainkan oleh kesadaran mendalam bahwa hidup ini memiliki tujuan yang lebih tinggi daripada sekadar kenyamanan pribadi. Begitu 


pula perjuangan FORMADES: bukan untuk kepentingan politik sesaat, melainkan demi masa depan desa yang berdaulat. Perjuangan yang tidak mudah, tidak instan, dan penuh pengorbanan.


Dalam kerja-kerja FORMADES, kita melihat keikhlasan yang serupa. Mulai dari pengurus DPP, DPD, DPC sampai dengan warga desa yang memilih berorganisasi, melawan intimidasi, menyuarakan hak atas ruang hidup, hak dasar yang berkeadilan dan hak atas tanah dan air—mereka telah mengorbankan banyak hal: waktu, tenaga, pikiran, materi, rasa aman, bahkan kadang 


relasi dengan keluarga atau lingkungan sekitar. Tetapi justru di sanalah makna perjuangan hidup: di jalan sunyi yang tak selalu diliput media, tetapi terus menyala dalam semangat kolektif.


Kisah Ismail yang digantikan oleh sembelihan besar juga menyiratkan pesan penting: bahwa kurban sejati adalah tentang menumbuhkan nilai baru. Dalam konteks FORMADES, pengorbanan bukanlah kehilangan semata, melainkan penciptaan ruang baru—ruang kedaulatan, ruang kesetaraan, dan ruang pembebasan. Desa yang semula dianggap pasif dan tertinggal, justru menjadi pusat resistensi dan inovasi sosial.


Idul Adha juga mengajarkan solidaritas sosial. Daging kurban dibagikan bukan untuk mempertebal status sosial, tetapi untuk menyatukan rasa dan nasib. FORMADES menghidupkan nilai ini lewat penguatan jaringan antar warga desa, konsolidasi lintas komunitas, dan kerja-kerja advokasi yang tidak ego sektoral. Setiap aksi adalah upaya untuk menyatukan yang tercerai, menguatkan yang rapuh, dan merawat harapan kolektif.


Apa yang dilakukan FORMADES hari ini adalah perwujudan dari nilai-nilai kurban itu sendiri. Mereka berani melepaskan kepentingan individu demi kebaikan bersama. Mereka siap menantang logika kekuasaan yang menindas demi menghidupkan kembali nalar keberpihakan kepada yang lemah. Mereka menanam benih perjuangan yang hasilnya mungkin tidak segera dituai, tetapi pasti akan tumbuh jika dirawat dengan keyakinan.


FORMADES hari ini juga mengajarkan bahwa kurban tidak selalu berarti menyerahkan sesuatu yang tampak, tetapi seringkali 


justru menyerahkan ego, membuang rasa nyaman dalam ketidakpedulian, dan melawan keinginan untuk tinggal diam di tengah ketimpangan. Ini adalah bentuk kurban yang paling dalam: keberanian untuk terus berdiri, bahkan ketika tak ada jaminan kemenangan.


Nilai keikhlasan dalam perjuangan harus terus ditanamkan. FORMADES bukan alat politik, bukan kendaraan elite, tapi rumah bersama bagi siapa pun yang percaya bahwa desa harus berdiri atas haknya sendiri. Ketaatan FORMADES adalah kepada nilai, bukan kepada kuasa. Maka ketika 


FORMADES melawan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, itu bukan pembangkangan, tapi justru bentuk ketaatan pada prinsip keadilan sosial.


Di masa depan, FORMADES harus terus membangun kekuatan berbasis nilai. Gerakan yang tidak hanya reaktif, tapi proaktif membangun ekosistem desa yang tangguh secara ekonomi, politik, dan budaya. Nilai-nilai Idul Adha bisa menjadi fondasi moral untuk itu: bahwa setiap langkah perubahan memerlukan pengorbanan, dan bahwa pengorbanan yang dilandasi cinta serta keberpihakan akan selalu menemukan jalannya sendiri.


Dalam momen Idul Adha tahun ini, kita diajak untuk melihat kembali perjuangan FORMADES bukan sebagai rangkaian aksi sporadis, tetapi sebagai jalan panjang menuju kemerdekaan desa. Dari kurban kita belajar bahwa kemenangan sejati tidak selalu tampak di depan mata. Tetapi selama kita setia pada nilai, tak gentar terhadap kesulitan, dan terus berjalan bersama rakyat, maka sesungguhnya kita telah meraih kemenangan moral—yang jauh lebih abadi dari pada sekadar kekuasaan.


Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar—La ilaha illallah, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamd.

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update