Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

'>

Iklan

Karanganyar dalam Timbunan Sampah: Ironi di Balik Lanskap Alam

Jumat, 16 Mei 2025 | 14:38 WIB | 017 Views Last Updated 2025-05-16T07:41:14Z


Kabupaten Karanganyar menyandang nama sebagai “Bumi Intanpari”—sebuah slogan yang berusaha memancarkan citra sebagai kabupaten yang kaya akan inovasi, pertanian, dan pariwisata. Namun di balik semarak destinasi wisata alam yang memikat dan retorika pembangunan yang menggema di ruang-ruang seremonial, terhampar ironi yang menyengat: krisis pengelolaan sampah yang tak kunjung tertangani.

Pusat dari persoalan ini adalah Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sukosari, Kecamatan Jumantono. Alih-alih menjadi etalase dari kemajuan sistem pengelolaan sampah, Sukosari justru mencerminkan wajah muram ketidakmampuan pemerintah daerah dalam menunaikan tanggung jawab ekologisnya. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Hanif Faisol Nurofiq, memberikan peringatan keras kepada Pemerintah Kabupaten Karanganyar, menyusul temuan bahwa TPA Sukosari masih menerapkan metode open dumping—sebuah praktik usang yang seharusnya sudah lama ditinggalkan.

Metode open dumping adalah praktik pembuangan sampah secara terbuka, tanpa pengolahan, penutupan tanah, atau pengamanan lingkungan. Praktik ini bukan hanya merusak lanskap alam, tapi juga menjadi sumber utama pencemaran air tanah, udara, dan menyebarkan risiko penyakit. Ironisnya, Karanganyar yang menjual diri sebagai surga wisata pegunungan dan agro-ekowisata, justru membiarkan ‘bom waktu’ lingkungan meledak di halaman belakangnya sendiri.

Data yang diungkap Dinas Lingkungan Hidup Karanganyar menyatakan bahwa volume sampah yang dibuang ke TPA Sukosari telah mencapai angka 110 hingga 140 ton per hari. Angka ini melonjak dari catatan sebelumnya, yakni 170 ton per hari pada 2022. Bahkan, studi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) memperkirakan bahwa pada tahun 2026, volume sampah padat di TPA tersebut akan menembus 739.349,25 meter kubik—melebihi kapasitas lahan yang tersedia. TPA Sukosari sudah overload, namun pemerintah masih gamang dalam mengambil langkah tegas.

Kepala DLH Karanganyar, Sunarno, mengakui bahwa dari 39 ketentuan teknis pengelolaan TPA yang ditetapkan Kementerian LHK, Karanganyar baru memenuhi 20 poin. Sisanya belum terpenuhi, dan sanksi administratif telah diambang pintu. Lebih jauh lagi, menteri menegaskan bahwa sanksi ini bukan gertakan semata. Di daerah lain, penerapan metode open dumping telah berujung pada penyidikan dan penetapan tersangka. Peringatan ini jelas, dan Karanganyar tidak bisa lagi berlindung di balik alasan keterbatasan anggaran atau waktu.

Pertanyaannya, di mana peran Bupati dan Wakil Bupati Karanganyar dalam menyikapi persoalan ini? Dalam deretan program prioritas yang dipublikasikan pemerintah kabupaten, penanganan sampah nyaris tak pernah menjadi agenda utama. Pembangunan difokuskan pada wajah luar kota: taman-taman kota, penataan jalan, pembangunan wisata baru. Tapi seperti peribahasa “rumah bersih, dapur penuh bangkai”, tampaknya Pemkab Karanganyar sibuk merias ruang tamu, tapi membiarkan dapur penuh racun.

Alokasi anggaran Rp16 miliar yang disebutkan untuk penanganan darurat TPA Sukosari memang terdengar besar, namun urgensinya baru muncul setelah ada ancaman dari pemerintah pusat. Lagi-lagi, ini reaktif, bukan preventif. Anggaran ini disebut akan digunakan untuk modernisasi armada sampah, perbaikan irigasi dan drainase, serta perluasan lahan TPA seluas 3.000 meter persegi. Tapi tanpa arah kebijakan yang jelas, langkah ini hanya akan menjadi tambal sulam.

Krisis pengelolaan sampah bukan sekadar masalah teknis. Ia adalah cermin dari tata kelola yang abai terhadap lingkungan dan masa depan warganya. Ketika gunungan sampah dibiarkan menua tanpa sentuhan teknologi dan tanpa edukasi publik, maka pemerintah daerah sedang menulis babak baru tentang kegagalan ekologis.

Karanganyar perlu menyadari bahwa keberlanjutan lingkungan bukan sekadar pelengkap di brosur wisata. Ia adalah fondasi utama dari kehidupan. Tidak akan ada wisata yang lestari, jika tanahnya diracuni lindi, jika udara mengandung amonia, dan jika airnya tidak lagi layak untuk diminum.

Kini, dengan tenggat enam bulan yang diberikan Kementerian LHK, Karanganyar dihadapkan pada pilihan tegas: menyelamatkan wajahnya sebagai Bumi Intanpari, atau membiarkan dirinya tenggelam dalam timbunan kegagalan. TPA Sukosari adalah simbol. Jika simbol ini runtuh, maka robohlah kredibilitas dan kepercayaan publik terhadap seluruh janji pemerintahan daerah ini.

Masyarakat Karanganyar layak hidup di lingkungan yang bersih, sehat, dan dikelola dengan visi jangka panjang. Sudah waktunya pemerintah berhenti menyapu sampah ke kolong karpet, dan mulai menyelesaikan akar masalahnya—dengan keberanian, integritas, dan komitmen penuh pada masa depan.

Ditulis oleh: Yoseph Heriyanto
TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update