Oleh:
[Yoseph Heriyanto]
Ketika Prabowo Subianto
mencalonkan diri sebagai Presiden, salah satu janji kampanye yang paling
menonjol adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini dirancang untuk
mengatasi gizi buruk dan stunting, serta mendorong peningkatan kualitas sumber
daya manusia. Targetnya ambisius: menjangkau 82,9 juta penerima manfaat, mulai
dari anak-anak sekolah hingga ibu hamil, pada akhir 2025. Namun setelah
beberapa bulan pemerintahan berjalan, tanda-tanda keseriusan implementasi MBG
belum terlihat secara nyata.
Hingga Mei 2025, program ini masih
berkutat pada persoalan regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan. Banyak
pemerintah daerah menyatakan belum memiliki dasar hukum dan pedoman yang cukup
jelas untuk mulai menjalankan MBG. Masalah infrastruktur, distribusi, dan
sumber daya manusia menjadi tantangan besar. Di sisi lain, anggaran yang
dialokasikan untuk MBG memang sangat besar—sebesar Rp71 triliun pada tahun
2025—tetapi pemerintah masih memerlukan tambahan dana sekitar Rp100 triliun
agar cakupan program bisa menjangkau seperempat populasi Indonesia, sebagaimana
dilaporkan Kompas (20 Mei 2025).
Tak hanya persoalan teknis dan
anggaran, evaluasi terhadap kualitas makanan MBG juga mengundang kritik. Kajian
ahli gizi menunjukkan dari enam jenis menu yang diamati, hanya
satu yang memenuhi Angka Kecukupan
Gizi sesuai Permenkes Nomor 28 Tahun 2019. Sajian lain dinilai minim protein
hewani, porsi sayur yang tidak seimbang, serta lebih mengutamakan karbohidrat,
terutama nasi. Hal ini tentu menyimpang dari semangat awal program yang ingin
memberikan asupan nutrisi yang layak bagi generasi muda bangsa.
Lebih lanjut, janji bahwa MBG akan
menyerap hasil panen petani dan nelayan lokal juga belum terwujud. Justru,
pelaksanaan program ini membuka ruang lebih luas bagi korporasi besar untuk
menjadi mitra penyedia makanan. Setiap mitra diwajibkan menyediakan
3.000 porsi makanan bergizi per hari dengan harga Rp15.000 per porsi. Bila
dihitung, potensi keuntungan mencapai Rp6 juta per hari. Data dari CNN Indonesia (21 Mei 2025) menunjukkan
bahwa keterlibatan pelaku usaha besar lebih dominan dibanding kelompok tani
atau nelayan kecil, sehingga semangat pemberdayaan ekonomi lokal menjadi kabur
dalam praktiknya.
Ironisnya, di
tengah lambannya implementasi MBG, pemerintah justru menggeber program baru
bernama Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP). Diluncurkan awal 2025, program ini
menargetkan terbentuknya 80.000 koperasi hingga akhir Juni 2025. Menurut data Berita Satu (25 Mei 2025), sudah ada
47.630 koperasi yang dibentuk—sekitar 57% dari target nasional. KDMP mengusung
misi membentuk koperasi di setiap desa dan kelurahan dengan berbagai unit
usaha: dari toko sembako hingga pergudangan
dan layanan logistik.
Meski niatnya terlihat progresif,
pembentukan koperasi dalam tempo cepat ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri.
Beberapa daerah melaporkan ketidaksiapan dalam membentuk koperasi karena
kekurangan tenaga pendamping dan infrastruktur dasar. Model pembentukan
koperasi secara top-down dari pemerintah pusat juga dikhawatirkan mengabaikan
partisipasi aktif masyarakat desa. Pendekatan semacam ini berpotensi menjadikan
koperasi sebagai instrumen administratif belaka, bukan sebagai wadah
pemberdayaan ekonomi rakyat.
Mohammad Hatta, Bapak Koperasi
Indonesia, pernah mengingatkan bahwa koperasi bukanlah sekadar organisasi
ekonomi, melainkan manifestasi dari semangat demokrasi dan kekeluargaan dalam
membangun ekonomi nasional. Dalam pandangannya, koperasi mampu menantang
dominasi sistem kapitalis yang tidak ramah terhadap pelaku usaha kecil dan
menengah, serta memposisikan rakyat sebagai pelaku utama ekonomi. Namun jika
pembentukan koperasi dilakukan seragam dari atas tanpa pembinaan,
prinsip-prinsip dasar koperasi ini dapat terkikis.
Ketimpangan antara janji dan
realisasi program MBG, serta percepatan masif KDMP, menunjukkan pergeseran
fokus kebijakan pemerintahan Prabowo-Gibran dari sektor sosial ke sektor
ekonomi. Apakah ini refleksi dari perubahan strategi pembangunan atau sekadar
respons terhadap tekanan politik dan tuntutan pencapaian kuantitatif?
MBG dan KDMP sejatinya adalah
inisiatif baik jika dijalankan dengan prinsip perencanaan, partisipasi, dan
keberlanjutan. Namun kenyataannya, MBG masih tersendat dan belum mampu menjawab
kebutuhan gizi masyarakat, sementara KDMP dikhawatirkan hanya menghasilkan
koperasi-koperasi tanpa ruh. Pemerintah perlu lebih serius menyeimbangkan
antara janji kampanye dan pelaksanaan program nyata. Tanpa itu, kepercayaan
rakyat bisa tergerus dan pembangunan hanya menjadi slogan yang berlalu cepat,
tanpa jejak yang berarti.
Editor : M Irwani N Umam