Notification

×

Iklan

 


Iklan

 


Indeks Berita

Tag Terpopuler

Apa Kabar MBG? Selamat Datang KDMP

Rabu, 28 Mei 2025 | 11:10 WIB | 17 Views Last Updated 2025-05-28T04:11:40Z

 


Oleh: [Yoseph Heriyanto]

 

Ketika Prabowo Subianto mencalonkan diri sebagai Presiden, salah satu janji kampanye yang paling menonjol adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini dirancang untuk mengatasi gizi buruk dan stunting, serta mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia. Targetnya ambisius: menjangkau 82,9 juta penerima manfaat, mulai dari anak-anak sekolah hingga ibu hamil, pada akhir 2025. Namun setelah beberapa bulan pemerintahan berjalan, tanda-tanda keseriusan implementasi MBG belum terlihat secara nyata.

 

Hingga Mei 2025, program ini masih berkutat pada persoalan regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan. Banyak pemerintah daerah menyatakan belum memiliki dasar hukum dan pedoman yang cukup jelas untuk mulai menjalankan MBG. Masalah infrastruktur, distribusi, dan sumber daya manusia menjadi tantangan besar. Di sisi lain, anggaran yang dialokasikan untuk MBG memang sangat besar—sebesar Rp71 triliun pada tahun 2025—tetapi pemerintah masih memerlukan tambahan dana sekitar Rp100 triliun agar cakupan program bisa menjangkau seperempat populasi Indonesia, sebagaimana dilaporkan Kompas (20 Mei 2025).

 

Tak hanya persoalan teknis dan anggaran, evaluasi terhadap kualitas makanan MBG juga mengundang kritik. Kajian ahli gizi menunjukkan dari enam jenis menu yang diamati, hanya

 

satu yang memenuhi Angka Kecukupan Gizi sesuai Permenkes Nomor 28 Tahun 2019. Sajian lain dinilai minim protein hewani, porsi sayur yang tidak seimbang, serta lebih mengutamakan karbohidrat, terutama nasi. Hal ini tentu menyimpang dari semangat awal program yang ingin memberikan asupan nutrisi yang layak bagi generasi muda bangsa.

 

Lebih lanjut, janji bahwa MBG akan menyerap hasil panen petani dan nelayan lokal juga belum terwujud. Justru, pelaksanaan program ini membuka ruang lebih luas bagi korporasi besar untuk menjadi mitra penyedia makanan. Setiap mitra diwajibkan menyediakan 3.000 porsi makanan bergizi per hari dengan harga Rp15.000 per porsi. Bila dihitung, potensi keuntungan mencapai Rp6 juta per hari. Data dari CNN Indonesia (21 Mei 2025) menunjukkan bahwa keterlibatan pelaku usaha besar lebih dominan dibanding kelompok tani atau nelayan kecil, sehingga semangat pemberdayaan ekonomi lokal menjadi kabur dalam praktiknya.

 

Ironisnya, di tengah lambannya implementasi MBG, pemerintah justru menggeber program baru bernama Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP). Diluncurkan awal 2025, program ini menargetkan terbentuknya 80.000 koperasi hingga akhir Juni 2025. Menurut data Berita Satu (25 Mei 2025), sudah ada 47.630 koperasi yang dibentuk—sekitar 57% dari target nasional. KDMP mengusung misi membentuk koperasi di setiap desa dan kelurahan dengan berbagai unit usaha: dari toko sembako hingga pergudangan

 

dan layanan logistik.

 

Meski niatnya terlihat progresif, pembentukan koperasi dalam tempo cepat ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Beberapa daerah melaporkan ketidaksiapan dalam membentuk koperasi karena kekurangan tenaga pendamping dan infrastruktur dasar. Model pembentukan koperasi secara top-down dari pemerintah pusat juga dikhawatirkan mengabaikan partisipasi aktif masyarakat desa. Pendekatan semacam ini berpotensi menjadikan koperasi sebagai instrumen administratif belaka, bukan sebagai wadah pemberdayaan ekonomi rakyat.

 

Mohammad Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, pernah mengingatkan bahwa koperasi bukanlah sekadar organisasi ekonomi, melainkan manifestasi dari semangat demokrasi dan kekeluargaan dalam membangun ekonomi nasional. Dalam pandangannya, koperasi mampu menantang dominasi sistem kapitalis yang tidak ramah terhadap pelaku usaha kecil dan menengah, serta memposisikan rakyat sebagai pelaku utama ekonomi. Namun jika pembentukan koperasi dilakukan seragam dari atas tanpa pembinaan, prinsip-prinsip dasar koperasi ini dapat terkikis.

 

Ketimpangan antara janji dan realisasi program MBG, serta percepatan masif KDMP, menunjukkan pergeseran fokus kebijakan pemerintahan Prabowo-Gibran dari sektor sosial ke sektor ekonomi. Apakah ini refleksi dari perubahan strategi pembangunan atau sekadar respons terhadap tekanan politik dan tuntutan pencapaian kuantitatif?

 

MBG dan KDMP sejatinya adalah inisiatif baik jika dijalankan dengan prinsip perencanaan, partisipasi, dan keberlanjutan. Namun kenyataannya, MBG masih tersendat dan belum mampu menjawab kebutuhan gizi masyarakat, sementara KDMP dikhawatirkan hanya menghasilkan koperasi-koperasi tanpa ruh. Pemerintah perlu lebih serius menyeimbangkan antara janji kampanye dan pelaksanaan program nyata. Tanpa itu, kepercayaan rakyat bisa tergerus dan pembangunan hanya menjadi slogan yang berlalu cepat, tanpa jejak yang berarti.


Editor : M Irwani N Umam


TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update