![]() |
Gambar ilustrasi |
SeputarDesa.com, Rangkap jabatan di lingkungan perangkat desa bukan sekadar pelanggaran moral, tapi bentuk nyata pembangkangan terhadap hukum dan amanat rakyat. Namun sayangnya, praktik ini masih sering terjadi, bahkan dianggap hal biasa, terutama jika pelakunya berada dalam lingkaran kekuasaan kepala desa.
Perangkat desa yang seharusnya fokus penuh pada pelayanan masyarakat justru sibuk membagi waktu dan tenaga untuk mengelola lembaga lain: yayasan, sekolah swasta, koperasi, hingga menjadi honorer di instansi berbeda. Akibatnya, pelayanan publik terseok, akuntabilitas terganggu, dan potensi konflik kepentingan makin menjadi-jadi.
Apa kata hukum soal ini?
Secara tegas, Pasal 51 huruf f Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa perangkat desa dilarang merangkap jabatan sebagai pengurus partai politik, anggota DPR, DPRD, serta jabatan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan. Kalimat “jabatan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan” menjadi kunci penting.
Artinya, meskipun perangkat desa bukan ASN (Aparatur Sipil Negara), prinsip netralitas dan fokus pada tugas pokok tetap berlaku. Terlebih lagi jika jabatan rangkap itu berada dalam struktur lembaga yang menerima aliran dana dari program desa—maka konflik kepentingan menjadi tak terhindarkan.
Lebih jauh, Permendagri Nomor 67 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Permendagri No. 83 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa menegaskan, bahwa perangkat desa wajib memenuhi etika pemerintahan dan dilarang merangkap jabatan lain yang mengganggu pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya.
Sayangnya, pengawasan terhadap aturan ini masih lemah. Inspektorat tutup mata, camat enggan bertindak, dan kepala desa justru melindungi “orang dekatnya”. Maka tidak mengherankan jika jabatan perangkat desa kini justru menjadi komoditas politik dan ekonomi, bukan amanah pelayanan.
Rakyat yang seharusnya menjadi penerima manfaat malah jadi korban sistem yang korup dan tidak transparan. Pelayanan tersendat, keputusan tak objektif, dan program desa hanya berputar di sekeliling kelompok yang itu-itu saja. Ini bukan hanya soal rangkap jabatan, tapi soal bagaimana jabatan desa telah diperdagangkan.
Saatnya masyarakat ikut mengawasi dan bersuara. Laporkan praktik rangkap jabatan ke BPD, kecamatan, atau inspektorat. Jangan biarkan perangkat desa mempermainkan kepercayaan rakyat demi kepentingan pribadi. Dan jangan biarkan jabatan mulia itu berubah menjadi alat dagang dan kedok kekuasaan.
Jabatan adalah amanah. Jika jabatan dipakai untuk merangkap, maka itu bukan pengabdian melainkan pengkhianatan. Dan bagi para pengkhianat rakyat, tempatnya bukan di balai desa, tapi di barisan pelanggar hukum yang harus ditindak.
---------------------------------------
Redaksi SeputarDesa.com
---------------------------------------