Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

'>

Iklan

Indeks Berita

Larangan Sound Horeg: Ketika Fatwa Dilanggar, Imbauan Dicueki, dan “Izin” Jadi Dalih Pembenaran

Minggu, 20 Juli 2025 | 15:10 WIB | 017 Views Last Updated 2025-07-20T08:19:34Z

 


SeputarDesa.com, Sudah dilarang oleh polisi. Sudah diharamkan oleh ulama. Tapi suara sound horeg tetap menggelegar, malam-malam tetap bising, masyarakat tetap resah. Apa artinya semua ini? Hanya satu, larangan itu tak lebih dari formalitas. Surat tempelan. Pajangan tanpa nyawa. Seruan moral tanpa taji.


Larangan tinggal larangan. Fatwa tinggal wacana. Tapi di lapangan, siapa yang pegang izin, dia yang menang. Izin menjadi tameng sakti untuk tetap melanggar dalam bingkai yang dilegalkan. Ini bukan lagi soal tertib atau tidak, tapi soal siapa yang bisa "bermain aturan".


Lebih ironis, negara dan lembaga keagamaan seolah bergengsi mengeluarkan larangan dan fatwa, tapi kehilangan daya gigit ketika pelaksanaannya ditabrak terang-terangan. Kalau sudah tahu bikin gaduh, mengganggu orang salat, mengusik bayi tidur, meresahkan warga, kenapa masih diberi izin? Siapa yang bermain di balik “izin legal tapi meresahkan”?


Apa gunanya negara bikin aturan kalau aturan bisa dilubangi dengan stempel "izin sementara"? Apa gunanya MUI bersidang membahas fatwa haram kalau nyatanya yang haram tetap dibiarkan lewat celah hukum?


Di sinilah hukum kehilangan martabatnya. Ketika larangan tak ditegakkan, dan perizinan menjadi celah legalisasi pelanggaran, maka masyarakat tak lagi takut pada aturan. Yang mereka takutkan hanya satu: tidak punya akses ke orang yang bisa kasih jalan. Yang tak kenal, ditindak. Yang kenal, dibiarkan. Yang kuat, dijaga. Yang lemah, dihukum.


Mari kita bicara terang-terangan. Jika ada kegiatan yang sudah terbukti meresahkan, dan sudah secara resmi dinyatakan dilarang dan haram, maka tidak boleh ada satu pun celah legal untuk itu tetap berlangsung. Karena setiap "izin khusus" untuk sesuatu yang dilarang adalah pengkhianatan terhadap hukum itu sendiri.


Jika aparat dan tokoh agama tidak bisa berdiri tegak menjaga marwah larangannya, maka lebih baik jangan larang sekalian. Jangan ajari masyarakat untuk tidak taat hukum, sementara para pemegang wewenang malah membuka jalan pintas untuk tetap bisa melanggarnya.


Jangan-jangan, bukan sound-nya yang bising tapi integritas penegak hukum yang sudah terlalu banyak noise.


---------------------------------------

Redaksi SeputarDesa.com

---------------------------------------

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN