![]() |
Gambar Ilustrasi oleh Tim SeputarDesa.com |
Tepat sepuluh tahun sudah Dana Desa digulirkan sebagai salah satu program strategis nasional pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pemerintah pusat, melalui APBN, telah mengalirkan lebih dari seribu triliun rupiah ke desa-desa dalam satu dekade terakhir. Tujuannya mulia: mempercepat pembangunan, mengurangi ketimpangan, dan menguatkan kemandirian desa.
Namun kini, setelah satu dekade berjalan, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar yang tidak bisa dielakkan: siapa yang sebenarnya diuntungkan oleh Dana Desa? Apakah rakyat desa benar-benar menjadi subjek utama pembangunan, atau justru hanya menjadi penonton dari perayaan anggaran?
Dana yang Menggembung, Keadilan yang Menciut
Tak dapat dimungkiri, banyak desa kini tampak lebih baik secara fisik. Jalan cor, drainase, pagar kantor desa, dan bangunan serbaguna berdiri di mana-mana. Namun pembangunan fisik bukanlah satu-satunya indikator keberhasilan. Pembangunan sejati mestinya menyentuh dimensi sosial, ekonomi, dan partisipasi warga.
Faktanya, banyak desa masih terjebak pada pola pembangunan seremonial. Dana Desa lebih sering diperlakukan sebagai proyek jangka pendek ketimbang strategi jangka panjang. Pemberdayaan ekonomi rakyat, pengembangan BUMDes, pelatihan anak muda, atau pemberian akses kepada kelompok rentan—semuanya tertinggal. Anggaran habis, tapi rakyat tetap pasif, bahkan tidak tahu dana itu digunakan untuk apa.
Elite Lokal Untung, Warga Kritis Tersisih
Dalam praktiknya, Dana Desa membuka peluang kekuasaan baru di tingkat lokal. Kepala desa dan perangkat menjadi aktor utama dalam pengelolaan anggaran ratusan juta hingga miliaran rupiah setiap tahun. Sayangnya, tidak semua pemimpin desa memiliki niat tulus membangun. Di sejumlah daerah, dana ini menjadi alat konsolidasi kekuasaan, bahkan lahan bancakan yang sistematis.
Musyawarah desa kehilangan makna, hanya formalitas belaka. Laporan pertanggungjawaban dibuat rapi, tapi substansi pengawasan nyaris hilang. Warga yang kritis dianggap pengganggu, sementara BPD yang idealnya jadi pengontrol kerap dilumpuhkan secara halus maupun terang-terangan.
Maka, secara jujur kita harus mengakui: yang paling diuntungkan selama satu dekade Dana Desa bukanlah rakyat secara keseluruhan, tapi segelintir elit yang menguasai proses dan informasi.
Saatnya Mengembalikan Dana Desa ke Akar Tujuannya
SeputarDesa.com meyakini bahwa Dana Desa adalah kebijakan revolusioner yang potensial membawa perubahan besar. Tapi potensi tanpa pembenahan akan melahirkan pembusukan.
Kami menyerukan:
-
Partisipasi warga harus menjadi pusat dari seluruh proses pembangunan desa. Tanpa keterlibatan rakyat, Dana Desa akan terus menjadi milik segelintir.
Pengawasan berbasis warga perlu diperkuat. Informasi anggaran harus dibuka seluas-luasnya. Transparansi bukan pilihan, tapi kewajiban.
-
Kelompok rentan harus jadi prioritas. Jangan sampai Dana Desa justru memperkuat ketimpangan yang selama ini ingin dihapus.
-
Evaluasi menyeluruh secara independen perlu dilakukan. Negara tidak boleh berpuas diri hanya karena indikator fisik tercapai.
Penutup
Satu dekade Dana Desa harus menjadi cermin, bukan sekadar catatan angka. Jika desa adalah masa depan Indonesia, maka Dana Desa adalah ujian moral dan politik kita bersama. Apakah kita membiarkan desa dikuasai segelintir, atau mengembalikannya ke tangan rakyat sejati?
SeputarDesa.com berdiri bersama desa-desa yang ingin jujur, adil, dan berdaulat. Karena Dana Desa bukan milik elite, melainkan hak rakyat.
๐️ M Irwani - Ketua BPD Podoroto/Pimred SeputarDesa.com
๐ Edisi Khusus – Satu Dekade Dana Desa