Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

'>

Iklan

Korupsi Dana Desa Masih Menggurita, Kemana Pendamping Desa?

Rabu, 25 Juni 2025 | 07:24 WIB | 017 Views Last Updated 2025-06-25T00:54:52Z
Gambar Ilustrasi Tim SeputarDesa.com

Oleh : M Irwani Nasirul Umam 
Pimred Media SeputarDesa.com

Ketika Presiden Joko Widodo meluncurkan program Dana Desa pada tahun 2015, optimisme membuncah di berbagai pelosok negeri. Untuk pertama kalinya dalam sejarah republik ini, desa menjadi aktor utama pembangunan dengan dukungan langsung dari APBN. Nilai kucuran dana pun tidak main-main. Dalam kurun waktu hampir satu dekade, total Dana Desa yang digelontorkan pemerintah telah menembus Rp539 triliun (data Kementerian Keuangan per 2024).


Namun, di balik semangat "membangun Indonesia dari pinggiran", muncul ironi yang mencemaskan. Dana desa yang seharusnya menjadi motor pembangunan justru kerap menjadi objek penyalahgunaan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga media lokal dan nasional, secara berkala merilis laporan mengenai kasus-kasus penyelewengan dana desa—mulai dari mark-up proyek, pembangunan fiktif, hingga penggelapan dana bantuan langsung.


Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2023 saja, terdapat 154 kasus korupsi dana desa dengan kerugian negara mencapai puluhan miliar rupiah. Pelakunya sebagian besar adalah kepala desa dan perangkatnya. Modusnya pun semakin canggih, dari kolusi proyek hingga pemalsuan dokumen laporan pertanggungjawaban.


Lalu muncul satu pertanyaan mendasar: di mana posisi dan peran para pendamping desa dalam semua ini?


Pendamping Desa: Fasilitator atau Saksi Bisu?


Pendamping desa, sesuai amanat Permendesa PDTT No. 3 Tahun 2015, memiliki tugas strategis: mendampingi proses perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi kegiatan dana desa. Mereka juga diharapkan menjadi mitra kritis pemerintah desa, memastikan program berjalan sesuai prinsip transparansi, partisipatif, dan akuntabel.


Namun realita di lapangan seringkali bertolak belakang. Di banyak desa, pendamping desa justru tak ubahnya “penonton” dalam proses pengelolaan anggaran. Mereka hadir secara administratif, namun minim intervensi ketika terjadi pelanggaran. Lebih parah lagi, beberapa laporan menyebut adanya pendamping yang ikut "bermain", menerima imbalan untuk menutup mata terhadap pelanggaran.


Ini jelas mencederai fungsi pendampingan. Ketika yang seharusnya menjadi pengawal integritas justru terlibat dalam kompromi, maka runtuhlah mekanisme kontrol di tingkat paling bawah.


Masalah Struktural dan Budaya Diam


Masalah ini tidak serta-merta dapat dibebankan sepenuhnya pada individu pendamping. Sebab jika ditelusuri lebih dalam, akar persoalan juga bersifat struktural.


Pertama, rekrutmen pendamping desa kerap tidak selektif. Banyak yang tidak memiliki latar belakang pemberdayaan masyarakat atau pengalaman pengelolaan anggaran. Tak sedikit pula yang diangkat karena faktor kedekatan politis dengan elite lokal. Hal ini mengurangi independensi dan profesionalisme.


Kedua, beban kerja yang tidak proporsional. Seorang pendamping bisa membawahi lebih dari lima desa, dengan tuntutan pelaporan administratif yang tinggi. Ini membuat fungsi pengawasan substansial sulit dilakukan secara maksimal.


Ketiga, minimnya perlindungan dan insentif bagi pendamping berintegritas. Ketika mereka berani bersikap kritis terhadap kepala desa atau perangkat desa yang menyimpang, tidak jarang justru mendapat tekanan sosial dan politik. Beberapa bahkan mengalami intimidasi, dikucilkan dari proses musyawarah desa, atau dikorbankan dalam konflik internal.


Solusi: Reformasi Pendampingan Desa dan Penguatan Masyarakat Sipil


Jika negara sungguh-sungguh ingin menyelamatkan Dana Desa dari jurang penyalahgunaan, maka reformasi pendampingan harus menjadi prioritas.


  • Pertama, perbaiki sistem rekrutmen dan seleksi pendamping desa. Prioritaskan profesionalisme, pengalaman pemberdayaan, dan integritas, bukan kedekatan politik atau relasi personal.

  • Kedua, beri pelatihan reguler dan pendampingan teknis berbasis wilayah. Pendamping harus paham betul regulasi penggunaan anggaran, metode pelaporan, serta pendekatan partisipatif dalam pembangunan desa.

  • Ketiga, bentuk sistem pelaporan independen yang memungkinkan masyarakat atau pendamping melapor langsung ke pemerintah pusat atau lembaga antikorupsi ketika menemukan indikasi penyelewengan.

  • Keempat, libatkan organisasi masyarakat sipil dan media lokal sebagai mitra pengawasan sosial. Ketika partisipasi warga diperkuat, ruang korupsi akan semakin sempit.


Penutup


Membangun desa bukan hanya soal mengucurkan dana, tapi soal menciptakan ekosistem tata kelola yang bersih dan partisipatif. Pendamping desa seharusnya menjadi agen perubahan, bukan justru menjadi pelengkap penderita dalam rantai birokrasi desa.


Jika kita gagal memperbaiki sistem ini, maka Dana Desa hanya akan menjadi ironi: program pembangunan paling besar, namun paling rentan dikorupsi. Dan pada akhirnya, yang paling dirugikan bukanlah negara, melainkan masyarakat desa yang kembali dikorbankan oleh sistem yang membiarkan korupsi merajalela di kampung halaman mereka sendiri.

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update