"Dari KUD ke Koperasi Merah Putih: Jangan Sampai Mengulang Luka Lama"
Ketua Bidang Litbang dan Inovasi DPP Formades
Setiap rezim tampaknya punya obsesi membangun koperasi desa. Dari era Orde Baru dengan KUD-nya hingga hari ini dengan Koperasi Merah Putih, cita-cita menata ekonomi rakyat dari bawah selalu hadir dalam wacana kekuasaan. Namun sejarah menunjukkan, niat baik tanpa kesiapan struktural, tanpa partisipasi nyata warga desa, sering kali berakhir sebagai proyek gagal yang menyisakan trauma dan ketidakpercayaan.
Kini, di tengah geliat program Koperasi Merah Putih yang digagas pemerintah pusat, pertanyaannya: benarkah desa sudah siap, atau kita tengah mengulang luka lama dengan baju baru?
Pemerintah kembali menjanjikan angin segar untuk desa. Lewat Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025, Presiden Prabowo Subianto menggaungkan pembentukan Koperasi Desa Merah Putih di seluruh pelosok negeri. Targetnya ambisius: 80.000 koperasi dalam waktu dekat, satu koperasi untuk setiap desa dan kelurahan. Dengan jargon pemulihan ekonomi dari akar rumput, koperasi desa digadang sebagai solusi permanen terhadap problem kemiskinan struktural dan ketimpangan ekonomi desa-kota.
Tapi seperti banyak program besar lainnya, antara niat dan pelaksanaan kerap terbentur kenyataan. Di balik semangat nasionalisme ekonomi yang dikibarkan, ada pertanyaan-pertanyaan mendasar yang belum terjawab: siapkah desa, mampukah pemerintah, dan belajarkah kita dari sejarah?
Yang pertama patut disoroti ialah siapa sesungguhnya penggagas utama program ini dan atas dasar apa. Jika merujuk pada pernyataan resmi pemerintah, gagasan ini lahir sebagai bagian dari strategi pemulihan ekonomi nasional pasca-pandemi dan dalam rangka memperkuat kemandirian desa. Namun, program ini nyaris datang tiba-tiba, tanpa melalui proses partisipatif yang melibatkan desa-desa itu sendiri.
Tak banyak diskusi publik yang mendahuluinya. Tak terdengar suara desa yang minta dibentuk koperasi. Yang mencuat justru adalah ambisi dari atas, dari pusat, dari elite. Apakah ini sekadar proyek pencitraan? Atau bagian dari janji politik yang harus segera ditebus? Ketika program lahir tanpa akar kebutuhan nyata dari masyarakat, maka yang muncul bukanlah koperasi sebagai lembaga sosial-ekonomi, melainkan koperasi sebagai proyek birokrasi.
Kenyataan di lapangan justru menunjukkan sebaliknya: banyak desa masih terseok-seok dalam mengelola unit usaha desa yang lebih kecil skalanya. Infrastruktur koperasi belum tersedia di banyak tempat. Sistem keuangan digital, yang kini menjadi standar pengelolaan koperasi modern, masih asing di sebagian besar desa. Pelatihan manajemen koperasi pun belum menjangkau mayoritas aparatur dan warga desa.
Bahkan, data dari Kementerian Koperasi dan UKM mencatat bahwa dari hampir 10 ribu koperasi desa yang telah dibentuk hingga Mei 2025, sebagian besar belum menjalankan kegiatan usaha secara aktif. Ini menunjukkan bahwa pembentukan koperasi lebih banyak terjadi secara administratif ketimbang operasional. Dengan kata lain, koperasi yang lahir belum tentu hidup.
Kita tentu belum lupa bagaimana kegagalan banyak Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) beberapa tahun lalu. Digadang-gadang sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi desa, BUMDes nyatanya banyak yang mangkrak, tidak beroperasi, bahkan menjadi sumber konflik di masyarakat. Dalam evaluasi Kementerian Desa pada 2023, dari lebih 74.000 BUMDes yang dibentuk, hanya sekitar 15 persen yang benar-benar aktif dan memberikan dampak ekonomi.
Penyebabnya klasik: tidak adanya studi kelayakan, keterbatasan sumber daya manusia, dan pembentukan yang dipaksakan demi mengejar target. Maka wajar bila muncul kekhawatiran bahwa Koperasi Desa Merah Putih hanya akan mengulang pola yang sama: membangun lembaga sebelum menyiapkan manusianya, merancang struktur sebelum memahami kultur.
Koperasi di Indonesia bukan hal baru. Kita punya sejarah panjang tentangnya, dan itu bukan sejarah yang sepenuhnya membanggakan. Pada masa Orde Baru, Koperasi Unit Desa (KUD) menjadi alat negara untuk mendistribusikan pupuk dan mengatur hasil pertanian. KUD tidak tumbuh dari kesadaran ekonomi rakyat, melainkan ditanam oleh kekuasaan demi kepentingan pengendalian.
Hasilnya, KUD kehilangan fungsinya sebagai lembaga demokratis dan justru berubah menjadi instrumen oligarkis di tingkat desa. Banyak KUD mati suri ketika rezim berganti, meninggalkan utang, konflik aset, dan trauma kolektif. Sampai hari ini, sebagian masyarakat masih sinis terhadap koperasi karena pengalaman masa lalu itu. Jika kini negara kembali hadir dengan gagasan koperasi desa, maka ia harus menjawab dulu satu hal: bagaimana memastikan bahwa koperasi ini bukan reinkarnasi KUD yang gagal?
Selain KUD, sejarah kita juga penuh dengan jejak program-program pembangunan desa yang berakhir setengah jalan atau bahkan tidak jelas ujungnya. Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang diluncurkan pada 1993, misalnya, menjanjikan pemberdayaan desa lewat dana langsung kepada masyarakat miskin. Tapi karena lemah dalam pengawasan dan penuh manipulasi data, IDT lebih banyak dinikmati oleh elite lokal.
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) yang dilanjutkan era pasca-Orba, juga mengklaim pendekatan partisipatif. Tapi lagi-lagi, keberhasilan program lebih sering menjadi data di laporan ketimbang realitas di desa. Di banyak tempat, PNPM hanya meninggalkan bangunan fisik tanpa keberlanjutan, proposal kegiatan tanpa dampak nyata. Kita seolah terjebak dalam pusaran program-program yang megah di atas kertas, tapi kosong dalam praktik.
Semua ini bukan berarti kita menolak koperasi. Tidak. Justru sebaliknya. Koperasi, dalam makna aslinya, adalah bentuk ekonomi kerakyatan yang paling menjanjikan. Ia mengandalkan solidaritas, kejujuran, dan kebersamaan. Tapi koperasi tidak bisa dijadikan proyek.
Ia harus tumbuh dari bawah, dari kebutuhan nyata, dari partisipasi yang tulus. Koperasi tidak bisa dipaksakan. Ia harus diyakini. Karena itu, yang dibutuhkan saat ini bukanlah program masif dari pusat, melainkan stimulasi yang cerdas dan kontekstual. Negara seharusnya lebih banyak menjadi fasilitator, bukan sutradara.
Kita juga harus realistis bahwa membangun koperasi yang sehat bukan pekerjaan setahun dua tahun. Ia butuh proses pendidikan yang panjang. Di negara-negara yang koperasinya kuat, seperti Finlandia atau Kanada, koperasi dibangun bersamaan dengan pembangunan budaya kewargaan yang demokratis dan transparan.
Di sana, koperasi bukan tempat mencari keuntungan sesaat, tapi ruang kolektif membangun masa depan bersama. Di sini, koperasi terlalu sering dijadikan kendaraan elite untuk mendistribusikan proyek dan memperluas pengaruh. Jika pola itu berulang, maka koperasi desa yang baru dibentuk akan mengalami nasib yang tak jauh berbeda dari pendahulunya.
Pada titik ini, kita perlu mengingatkan pemerintah untuk menahan diri dari godaan menanamkan terlalu banyak simbol ke dalam program koperasi. Nama “Merah Putih” memang menyentuh nasionalisme, tetapi koperasi bukanlah alat propaganda. Ia bukan lencana di dada pejabat, melainkan nadi ekonomi rakyat. Maka jangan biarkan koperasi menjadi proyek pencitraan.
Biarkan ia tumbuh sebagai gerakan sosial-ekonomi yang lahir dari kesadaran warga. Kalau perlu, ubah pendekatannya dari membentuk koperasi di semua desa menjadi memperkuat koperasi-koperasi yang memang sudah ada dan berjalan. Fokus pada kualitas, bukan kuantitas.
Akhirnya, program Koperasi Desa Merah Putih memang bisa menjadi peluang, tapi juga bisa menjadi jebakan. Semua bergantung pada bagaimana negara memosisikan diri: sebagai pembina yang rendah hati, atau sebagai perancang yang otoriter.
Desa bukan sekadar titik dalam peta proyek nasional. Ia adalah ruang
hidup, ruang budaya, ruang otonomi. Ia berhak menentukan jalan ekonominya
sendiri. Bila negara betul-betul ingin membangun dari desa, maka langkah
pertamanya bukan membentuk koperasi, tapi mendengar.