![]() |
Gambar Ilustrasi oleh IT SeputarDesa.com |
SeputarDesa.com – Sistem transaksi non tunai yang selama ini digadang-gadang sebagai solusi dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran pemerintah, ternyata masih menyisakan ruang gelap bagi oknum tak bertanggung jawab. Celah baru yang kini mulai menjadi sorotan adalah praktik penyelewengan anggaran melalui modus titip transfer yakni pengalihan dana ke toko atau pihak ketiga atas nama pengadaan, tetapi realisasi barang dan jasa tidak pernah terjadi.
Dalam sistem non tunai, proses pembayaran langsung ditransfer dari bendahara atau pejabat berwenang ke rekening toko atau penyedia jasa. Secara administratif, sistem ini memang terlihat bersih. Namun dalam praktik di lapangan, muncul skenario manipulatif di mana toko yang menerima dana hanya bertindak sebagai “penampung formal”. Dana kemudian dikembalikan secara tidak resmi, ditukar dengan imbalan, atau bahkan dibagi sebagai bentuk gratifikasi terselubung.
Beberapa laporan masyarakat dan hasil penelusuran media menunjukkan bahwa modus ini marak digunakan dalam pengadaan barang operasional, belanja alat kantor, hingga pengeluaran kegiatan pelatihan fiktif. Celah ini diperparah dengan lemahnya sistem pengawasan, minimnya verifikasi fisik atas barang/jasa, serta kolusi antara oknum pelaksana kegiatan dan mitra penyedia.
Seorang mantan auditor pemerintah daerah yang tak ingin disebut namanya menyebutkan bahwa pola titip transfer ini sulit terdeteksi jika hanya mengandalkan dokumen laporan pertanggungjawaban.
“Semua kelengkapan bisa dimanipulasi. Invoice ada, bukti transfer ada, cap toko pun bisa dibubuhkan. Tapi faktanya, tak ada transaksi nyata. Kalau tidak dicek fisik ke lapangan, ini nyaris tak bisa dibuktikan,” jelasnya.
Selain itu, masih ada toko-toko yang sengaja membuka rekening hanya untuk keperluan ‘transit’ dana, tanpa ada aktivitas dagang yang sebenarnya. Hal ini menciptakan ruang praktik mark-up, pengadaan fiktif, hingga penggelapan anggaran.
Aktivis antikorupsi mendesak agar pemerintah daerah dan inspektorat lebih aktif dalam melakukan audit investigatif terhadap realisasi belanja. Tidak cukup hanya memeriksa dokumen administratif, tetapi juga perlu turun langsung ke lapangan untuk memastikan barang benar-benar diterima dan digunakan sesuai peruntukan.
Di sisi lain, sistem informasi keuangan daerah (SIPD) yang terintegrasi secara nasional diharapkan dapat memberi alarm dini terhadap transaksi mencurigakan, terutama jika terjadi pola berulang pada toko yang sama atau nominal yang tak wajar.
Pakar tata kelola desa, Dr. Ismail P., mengingatkan bahwa sistem digital seperti non tunai bukanlah jaminan mutlak untuk mencegah penyimpangan.
“Kalau manusianya tidak jujur dan kontrolnya lemah, sistem sebaik apa pun bisa disalahgunakan. Non tunai itu alat bantu, bukan solusi tunggal,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa pengawasan berbasis partisipasi masyarakat, terutama dalam konteks dana desa, perlu terus digalakkan. Dengan melibatkan tokoh masyarakat, BPD, dan media lokal dalam pemantauan realisasi anggaran, maka celah-celah penyelewengan bisa ditekan.
Pemerintah pusat, melalui Kementerian Dalam Negeri dan BPKP, sejatinya telah memberikan pedoman pengawasan yang cukup komprehensif. Namun, implementasi di tingkat daerah dan desa masih sangat bervariasi. Ada yang berjalan baik, ada pula yang masih lemah dan permisif terhadap penyimpangan.
Sebagai warga masyarakat kita wajib mengawal isu ini, mengingat pentingnya membangun tata kelola keuangan yang bersih, transparan, dan bertanggung jawab, terutama di tingkat akar rumput. Karena di balik setiap rupiah anggaran, ada harapan besar rakyat untuk kesejahteraan.(ir)
Redaksi oleh : M Irwani Nasirul Umam