![]() |
Aliansi Masyarakat Pesawaran (AMP) yang ikut mengawal laporan |
SeputarDesa.com, Pesawaran – Desa Durian, Kecamatan Padang Cermin, tengah diguncang aroma busuk. Bukan dari buah yang menjadi ikon desa, melainkan dari perut anggaran desa yang diduga dipreteli secara sistematis oleh mereka yang seharusnya mengayomi.
Rabu (9/7/2025), warga Desa Durian mendatangi Kejaksaan Negeri Pesawaran membawa amarah dan harapan. Mereka menyerahkan laporan resmi dugaan korupsi yang menyeret nama Kepala Desa Misriadi. Bukan sekadar kabar burung — laporan itu berisi delapan poin penggunaan Anggaran Dana Desa (ADD) Tahun 2024 yang dinilai bermasalah dan berpotensi menjadi bukti penyimpangan anggaran publik.
Warga menyebut, selama bertahun-tahun, anggaran desa dikelola secara tertutup, tidak transparan, dan penuh manuver akal-akalan. Setiap kali warga menanyakan rincian belanja desa, jawabannya selalu sama: diam, menghindar, atau bersembunyi di balik pasal.
“Kepala desa ini bukan hanya tertutup, tapi seperti sengaja menyembunyikan sesuatu. Kalau tidak ada yang salah, kenapa takut membuka dokumen?” ucap seorang warga pelapor dengan nada getir.
Alih-alih memberikan akses publik sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Misriadi memilih berlindung di balik argumen absurd: semua sudah diumumkan lewat banner. Tapi warga tidak bodoh mereka tahu bahwa angka di banner tidak cukup untuk melacak jejak uang rakyat.
“Papan pengumuman bukan bukti integritas. Kami bicara soal dokumen asli, rincian proyek, realisasi fisik, hingga bukti pertanggungjawaban. Semua itu dikunci rapat!” tegas Saparudin Tanjung, Ketua Aliansi Masyarakat Pesawaran (AMP) yang ikut mengawal laporan.
Yang menyakitkan, dugaan ini bukan hanya soal uang yang raib, tapi soal pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. Dana desa seharusnya menjadi napas pembangunan, bukan diperlakukan seperti warisan pribadi. Jika benar ada praktik markup, fiktif, atau penunjukan proyek yang sarat konflik kepentingan, maka ini adalah perampokan di siang bolong.
Misriadi memang mencoba membantah. Kepada media (30/6/2025), ia berdalih bahwa semua pengelolaan sudah dilakukan sesuai prosedur. Tapi bantahan itu rapuh — karena fakta di lapangan menunjukkan betapa minimnya akses masyarakat terhadap keuangan desa.
Kejari Pesawaran kini memegang kunci: apakah akan menjadi benteng terakhir keadilan, atau sekadar menjadi etalase tempat laporan-laporan rakyat didiamkan sampai membusuk?
“Kalau kejaksaan tak bertindak, kami siap turun lebih besar. Kami akan buka semua data, kami akan lawan,” ancam salah satu pelapor saat keluar dari kantor kejaksaan.
Warga Desa Durian bukan hanya marah — mereka terluka. Mereka telah terlalu lama dibungkam dalam sistem kekuasaan lokal yang angkuh dan tak tersentuh. Jika laporan ini tenggelam tanpa tindak lanjut, maka yang hancur bukan hanya satu kepala desa, tapi kepercayaan masyarakat terhadap seluruh sistem penegakan hukum.
Kini, mata publik tertuju ke Pesawaran. Jika benar ada kebusukan di tubuh pemerintahan desa, maka hukum harus menjadi pisau yang tajam ke atas bukan sekadar pajangan yang digunakan untuk menakuti rakyat kecil.
Durian itu kini sudah retak, tinggal menunggu siapa yang berani membelah dan menelanjangi isinya.