
![]() |
Gedung Grahadi saat ini digunakan sebagai rumah dinas Gubernur Jawa Timur |
SeputarDesa.com, Surabaya – Berdiri anggun di jantung Kota Surabaya, Gedung Negara Grahadi bukan sekadar bangunan bersejarah, melainkan saksi bisu perjalanan panjang pemerintahan Jawa Timur sejak lebih dari dua abad lalu. Dibangun pada tahun 1795, gedung ini lahir pada masa kekuasaan Residen Dirk Van Hogendorps (1794–1798), ketika Surabaya masih menjadi pusat perdagangan dan kekuasaan kolonial Belanda di pesisir timur Jawa.
Awalnya, Grahadi dibangun menghadap Sungai Kalimas di sisi utara. Dari serambi gedung, para pejabat Belanda kerap menghabiskan sore hari sambil menikmati teh, menyaksikan perahu-perahu yang berlayar membawa barang dagangan maupun penumpang. Sungai kala itu adalah urat nadi transportasi Surabaya. Perahu menjadi moda utama untuk keluar-masuk kota, sebelum jalan darat berkembang seperti sekarang.
![]() |
Gedung Grahadi pada tahun 1860-an (sumber Tropenmuseum) |
Namun, pada tahun 1802, arah gedung diubah menghadap ke selatan, sesuai tata kota baru yang berkembang. Sejak saat itu, wajah Grahadi yang kita lihat hari ini tak banyak berubah, meski fungsinya telah bertransformasi dari rumah kebun peristirahatan pejabat kolonial menjadi pusat kegiatan pemerintahan provinsi.
Dari Rumah Kebun ke Rumah Dinas Gubernur
Pada masa awal, Grahadi dikenal sebagai rumah kebun tempat para pejabat Belanda beristirahat dari hiruk-pikuk kota. Kadang kala, gedung ini juga dipakai untuk pesta dansa, perjamuan resmi, hingga pertemuan penting.
Kini, di era modern, Grahadi memiliki fungsi lebih formal. Gedung ini digunakan sebagai rumah dinas Gubernur Jawa Timur sekaligus tempat menerima tamu-tamu penting. Berbagai kegiatan kenegaraan kerap digelar di halaman megahnya, mulai dari pelantikan pejabat, upacara kenegaraan, hingga peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus.
Tradisi yang tak kalah menarik adalah upacara pengibaran bendera Merah Putih setiap tanggal 17 bulan berjalan. Upacara ini melibatkan pelajar, mahasiswa, hingga kelompok masyarakat dari berbagai daerah di Jawa Timur yang diundang khusus oleh Sekretariat Daerah Provinsi. Dengan begitu, Grahadi tetap hidup, tidak hanya sebagai simbol kekuasaan, tetapi juga ruang kebersamaan rakyat dan pemerintah.
Sejak 1991, Pemerintah Provinsi Jawa Timur membuka Gedung Grahadi untuk kunjungan wisata. Langkah ini memberi kesempatan masyarakat lebih luas mengenal langsung gedung yang menyimpan jejak sejarah panjang sejak masa kolonial, masa pendudukan Jepang, hingga era kemerdekaan.
Kantor Gubernur Jawa Timur, Jejak Diplomasi Revolusi
Tak jauh dari Grahadi, berdiri Kantor Gubernur Jawa Timur di seberang Tugu Pahlawan. Gedung bergaya Roma ini dibangun tahun 1929 dan selesai pada 1931, dengan luas mencapai 76.885 meter persegi. Dirancang oleh arsitek Belanda Ir. W. Lemci, bangunan berlantai dua ini sejak awal menjadi pusat kegiatan pemerintahan, baik di era Belanda, pendudukan Jepang, maupun masa Republik Indonesia.
![]() |
Gedung Grahadi pada tahun 1930-an (sumber Tropenmuseum) |
Gedung tersebut juga punya peran penting dalam sejarah Revolusi 1945. Pada Oktober 1945, Presiden Soekarno pernah berunding dengan Jenderal Hawtorn di sana, berusaha meredakan ketegangan antara pejuang Surabaya dan pasukan Sekutu. Namun, diplomasi tak mampu menahan gelombang perlawanan rakyat. Dari gedung inilah pula Gubernur Jawa Timur pertama, Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo, menolak ultimatum Sekutu pada 9 November 1945 pukul 23.00 WIB. Keputusan itu kemudian memicu pecahnya Pertempuran 10 November, yang dikenang sebagai Hari Pahlawan.
Warisan Sejarah yang Terjaga
Kini, Gedung Negara Grahadi dan Kantor Gubernur Jawa Timur berdiri tegak, bukan hanya sebagai bangunan pemerintahan, tetapi juga monumen sejarah perjuangan rakyat Jawa Timur. Setiap dinding, pilar, dan halaman gedung menyimpan kisah panjang perjuangan bangsa dari masa kolonial, revolusi, hingga era modern.
Dengan usia lebih dari dua abad, Grahadi tak sekadar tempat tinggal Gubernur, melainkan ruang publik yang sarat makna. Ia menjadi simbol kesinambungan sejarah, tempat di mana masa lalu dan masa kini bertemu, dan warisan yang harus dijaga untuk generasi mendatang. (**)