
SeputarDesa.com - Apa yang salah dengan negeriku? Pertanyaan ini bukan lagi bisikan pelan, tapi teriakan keras di jalanan, di media sosial, bahkan di ruang sidang. Rakyat sudah lelah menjadi korban, dan kini mereka menggugat bukan karena ingin merusak, tapi karena tak ada lagi yang bisa diandalkan selain suara mereka sendiri.
Negeri ini bukan miskin sumber daya, tapi miskin kejujuran. Bukan kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang berintegritas. Sumber daya alam dikeruk tanpa ampun, sementara perut rakyat tetap kosong. Uang negara mengalir deras, tapi entah mengapa, pipa kesejahteraan rakyat selalu mampet di meja birokrat dan kantong para penguasa rakus.
Hukum yang seharusnya menjadi benteng keadilan justru menjadi pedang tumpul ketika berhadapan dengan penguasa, tapi sangat tajam saat menebas rakyat kecil. Korupsi merajalela, pungutan liar dianggap wajar, janji politik jadi barang basi setelah kampanye usai.
Banyak rakyat menggugat karena negara ini seperti panggung sandiwara. Politisi bersandiwara demi citra, pejabat bersandiwara demi jabatan, dan rakyat terpaksa bersandiwara seolah mereka baik-baik saja. Gugatan rakyat adalah jeritan yang menuntut negara berhenti berpura-pura.
Negeriku sedang sakit parah, dan penyakitnya adalah keserakahan yang bersarang di kursi kekuasaan. Selama penyakit ini tidak diobati, gugatan rakyat akan terus menggelegar dan suatu saat, ledakannya bisa mengguncang fondasi negeri ini.
Negeri ini tak akan runtuh karena serangan dari luar, tapi akan hancur oleh kebusukan dari dalam. Gugatan rakyat adalah tanda peringatan. Pertanyaannya, maukah penguasa mendengarnya, atau menunggu sampai suara itu berubah menjadi badai yang meluluhlantakkan segalanya?