M. Faizi
Sejak tulisan saya tentang “pabrik hantu” dan dugaan praktik ternak pita cukai mencuat ke jagat media sosial, notifikasi di ponsel saya seolah tak pernah tidur. DM datang dari berbagai arah. Ada yang hanya ingin tahu lebih banyak. Ada pula yang menyodorkan kisah dari balik layar.
Tulisan itu memang saya sebar luas. Saya viralkan lewat akun TikTok pribadi: @faizihaseho. Bukan untuk kejar viral tapi karena saya tahu kalau bukan kita yang menyuarakan, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Tak disangka juga, dari postingan tersebut terdapat sebuah komentar menukik dari calon pengusaha rokok dengan akun Tiktok @enjihar yang kabarnya status perizinannya masih terkatung-katung dan tak jelas muaranya.
Kira-kira begini sekelumit komentar nya: jangan sampai yang berniat baik justru dipersulit izinnya. Kalau ada pengusaha yang ingin tertib, justru harusnya difasilitasi. Daerah harus bangga, bukan malah curiga."
Komentar itu saya nilai datang di tengah situasi yang makin kompleks. Di Sumenep, geliat pabrik rokok makin terasa. Tapi di baliknya, aroma permainan cukai juga makin kentara. Banyak bangunan pabrik berdiri gagah lengkap dengan papan nama tapi sunyi dari aktivitas. Tak ada mesin beroperasi, tak ada buruh lalu lalang. Hanya gedung tinggi dan gerbang tertutup rapat. Pabrik yang hidup hanya di atas kertas. Yang berdenyut justru aliran pita cukai dari satu tangan ke tangan lain.
Melihat situasi ini, pemerintah daerah dalam hal ini Bupati Sumenep Achmad Fauzi Wongsojudo memilih menarik rem darurat. Proses perizinan pabrik baru disetop sementara. Mungkin langkah ini diambil untuk meninjau ulang: mana pabrik yang benar-benar memproduksi seperti halnya APHT yang sebentar lagi bakal beroperasi dan mana yang sekadar tempat bermain cukai.
Kalau melihat dari sisi kehati-hatian, keputusan itu bisa dimengerti tapi kalau dibiarkan terlalu lama tanpa penyisiran yang cermat, ia bisa berubah menjadi jebakan. Karena logika generalisasi sering kali menelan korban yang tidak salah.
Bayangkan saja: ada pengusaha sungguhan, berniat baik, sudah menyiapkan bangunan, peralatan dan skema pemberdayaan masyarakat tapi karena iklim curiga yang terlalu pekat, niat baik itu layu sebelum sempat tumbuh.
Padahal, ini justru kesempatan bagi pemerintah daerah untuk melakukan penyaringan yang cerdas. Yang legal, diberi ruang. Yang fiktif disikat habis. Jangan malah semua diseragamkan dalam satu kotak: “tunggu evaluasi”.
Namun demikian, saya masih teringat dalam satu pertemuan dengan para jurnalis, Bupati Fauzi pernah melontarkan analogi yang menarik, Kira-kira begini:
"Kalau ada pabrik yang 30 persen produksinya nyata dan 70 persen sisanya main pita, itu masih mending. Minimal masih ada warga yang dipekerjakan. Tapi ini… banyak yang 0 persen. Produksi tidak ada. Mesin tidak hidup. Hanya bangunan tinggi dan papan nama besar. Tapi kobong semua.”
Analogi itu lugas. Dan sayangnya tak berlebihan. Karena kenyataannya memang banyak pabrik yang seperti itu, jadi simbol semu industri tanpa nyawa.
Namun komentar @enjihar mengingatkan saya bahwa masih ada “pengusaha soleh” di Sumenep. Mereka yang benar-benar ingin membangun usaha legal, membayar pajak, menyerap tenaga kerja dan menyumbang pendapatan daerah. Mereka inilah yang justru harusnya dilindungi dan difasilitasi.
Kalau pemerintah benar-benar ingin membersihkan industri rokok lokal dari praktik curang, maka pengusaha jujur harus jadi mitra utama. Diberi karpet merah. Dihadirkan ke forum-forum dialog bukan malah dimasukkan ke daftar tunggu tak berujung hanya karena rasa curiga yang tak terkendali. Sebab, membasmi yang curang itu penting tapi jangan sampai semangat membasmi membuat kita menebas yang jujur.
Di tengah kebisingan narasi soal cukai dan izin, saya kembali teringat satu kalimat dari Bang Fauzi AS, seseorang yang kata-katanya sering terasa sederhana tapi selalu menampar halus:
"Misi kita harus tetap mengarah pada kerakyatan. Jangan sampai kita jadi bemper dari kekuasaan itu sendiri.”
Kalimat itu seperti jangkar. Membantu saya tetap berpijak di tengah arus deras opini publik dan tekanan kekuasaan.Karena kekuasaan bisa berganti tapi keberpihakan kepada rakyat tidak boleh hilang apalagi hanya karena kekhawatiran terhadap bayang-bayang yang belum tentu nyata.
Tugas kita jurnalis, pengusaha, pemimpin, warga biasa adalah memastikan bahwa niat baik tidak pernah dibungkam oleh tembok birokrasi. Bahwa pengusaha jujur tidak dikalahkan oleh pabrik palsu. Dan bahwa suara rakyat, sekecil apa pun tetap pantas untuk didengar meski suaranya hanya muncul lewat sebuah DM di media sosial.